A. Latar Belakang
Sejak 1994, mulai dengan PELITA VI, bangsa Indonesia telah mencanangkan
Wajib Belajar (WAJAR) 9 Tahun sebagai pendidikan minimal yang diharapkan
dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia. Gerakan WAJAR 9 tahun dilakukan
setelah WAJAR 6 Tahun dinyatakan berhasil dalam pengertian jumlah sekolah
yang dibangun, tenaga pendidik yang diangkat, dan angka partisipasi penduduk
usia sekolah. Oleh karena WAJAR diartikan bukan sebagai "compulsory
education" tetapi sebagai "basic education" maka keberhasilan WAJAR 6 Tahun
adalah keberhasilan pendidikan yang diperkirakan dalam memberikan kualitas
minimal anggota masyarakat dan bangsa Indonesia.
Sayangnya, kebijakan tentang WAJAR 6 Tahun dan WAJAR 9 Tahun memiliki
perbedaan mendasar, disamping persamaan. Dalam strategi pembangunan fisik
dan pengadaan tenaga guru keduanya memiliki perbedaan. Pembangunan fisik
gedung dan pengadaan guru WAJAR 6 Tahun dilakukan melalui Keppres sehingga
dalam waktu yang relatif singkat jumlah penduduk usia sekolah 7-12 telah
dapat ditampung di Sekolah Dasar. WAJAR 9 Tahun tidak didukung oleh
kebijakan pengadaan gedung dan guru melalui Keppres. Oleh karena itu walau
pun sudah berusia 8 tahun gerakan WAJAR 9 Tahun belum menunjukkan hasilnya
yang memuaskan. Angka partisipasi penduduk usia sekolah 12-15 untuk jenjang
sekolah lanjutan pertama (SLTP, Madrasah Tsanawiyah, SLTP Terbuka dan
program lainnya) belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Sementara itu kebijakan yang berkaitan dengan isi/program pendidikan dasar
tidak mengalami perubahan. Pendidikan Dasar masih diartikan hanya sebagai
pendidikan yang harus dimiliki oleh setiap warga Indonesia. Apa isi dan
bagaimana suatu pendidikan dasar seharusnya masih merupakan persoalan besar.
Konsep Pendidikan Dasar sebagai pendidikan yang mengembangkan kualitas
minimal bangsa Indonesia belum jelas dalam bentuk operasionalnya. Kurikulum
dan sistem penilaian akhir belajar (Ebtanas) masih belum tersentuh dengan
baik oleh konsep pendidikan dasar.
Adanya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
memberikan dimensi baru. Delegasi wewenang yang dikenal juga dengan istilah
desentralisasi memberikan problema yang mendasar bagi pengembangan kebijakan
Pendidikan Dasar (Dikdas). Pertanyaan mendasar itu terutama berkaitan dengan
kebijakan mengenai aspek pembangunan aspek fisik, proses, dan kurikulum
sebagai isi dan proses pendidikan. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah
pusat dan apa yang harus dilakukan oleh pemerintahan daerah dalam upaya
mencapai tujuan pendidikan dasar yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 2
tahun 1989 di atas. Ataukah diperlukan adanya suatu Undang-Undang baru yang
dapat mengakomodasi kewenangan pemerintah daerah tentang pendidikan seperti
dinyatakan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999? Bagaimana mengakomodasi hal
tersebut sehingga tidak terjadi perbenturan kepentingan antara kepentingan
tingkat nasional dengan daerah?
Permasalahan kebijakan Dikdas untuk masa mendatang menjadi semakin kompleks
jika dimensi permasalahan dikembangkan kepada berbagai aspek penyelenggaraan
pendidikan terutama dalam masalah pendanaan dan ketenagaan. Pertanyaan
seperti apakah sistem pendanaan yang berlaku sekarang masih akan
dipertahankan mengingat fungsi unit penyelenggara pendidikan (terutama
sekolah negeri) hanyalah sebatas lembaga pembayar gaji dan pelaksana fungsi
keuangan lainnya. Peran unit pendidikan sebagai pengembang program yang
seharusnya dikaitkan dengan masalah pendanaan belum berlaku demikian pula
dalam pengangkatan ketenagaan.
Sejak 1994, mulai dengan PELITA VI, bangsa Indonesia telah mencanangkan
Wajib Belajar (WAJAR) 9 Tahun sebagai pendidikan minimal yang diharapkan
dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia. Gerakan WAJAR 9 tahun dilakukan
setelah WAJAR 6 Tahun dinyatakan berhasil dalam pengertian jumlah sekolah
yang dibangun, tenaga pendidik yang diangkat, dan angka partisipasi penduduk
usia sekolah. Oleh karena WAJAR diartikan bukan sebagai "compulsory
education" tetapi sebagai "basic education" maka keberhasilan WAJAR 6 Tahun
adalah keberhasilan pendidikan yang diperkirakan dalam memberikan kualitas
minimal anggota masyarakat dan bangsa Indonesia.
Sayangnya, kebijakan tentang WAJAR 6 Tahun dan WAJAR 9 Tahun memiliki
perbedaan mendasar, disamping persamaan. Dalam strategi pembangunan fisik
dan pengadaan tenaga guru keduanya memiliki perbedaan. Pembangunan fisik
gedung dan pengadaan guru WAJAR 6 Tahun dilakukan melalui Keppres sehingga
dalam waktu yang relatif singkat jumlah penduduk usia sekolah 7-12 telah
dapat ditampung di Sekolah Dasar. WAJAR 9 Tahun tidak didukung oleh
kebijakan pengadaan gedung dan guru melalui Keppres. Oleh karena itu walau
pun sudah berusia 8 tahun gerakan WAJAR 9 Tahun belum menunjukkan hasilnya
yang memuaskan. Angka partisipasi penduduk usia sekolah 12-15 untuk jenjang
sekolah lanjutan pertama (SLTP, Madrasah Tsanawiyah, SLTP Terbuka dan
program lainnya) belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Sementara itu kebijakan yang berkaitan dengan isi/program pendidikan dasar
tidak mengalami perubahan. Pendidikan Dasar masih diartikan hanya sebagai
pendidikan yang harus dimiliki oleh setiap warga Indonesia. Apa isi dan
bagaimana suatu pendidikan dasar seharusnya masih merupakan persoalan besar.
Konsep Pendidikan Dasar sebagai pendidikan yang mengembangkan kualitas
minimal bangsa Indonesia belum jelas dalam bentuk operasionalnya. Kurikulum
dan sistem penilaian akhir belajar (Ebtanas) masih belum tersentuh dengan
baik oleh konsep pendidikan dasar.
Adanya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
memberikan dimensi baru. Delegasi wewenang yang dikenal juga dengan istilah
desentralisasi memberikan problema yang mendasar bagi pengembangan kebijakan
Pendidikan Dasar (Dikdas). Pertanyaan mendasar itu terutama berkaitan dengan
kebijakan mengenai aspek pembangunan aspek fisik, proses, dan kurikulum
sebagai isi dan proses pendidikan. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah
pusat dan apa yang harus dilakukan oleh pemerintahan daerah dalam upaya
mencapai tujuan pendidikan dasar yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 2
tahun 1989 di atas. Ataukah diperlukan adanya suatu Undang-Undang baru yang
dapat mengakomodasi kewenangan pemerintah daerah tentang pendidikan seperti
dinyatakan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999? Bagaimana mengakomodasi hal
tersebut sehingga tidak terjadi perbenturan kepentingan antara kepentingan
tingkat nasional dengan daerah?
Permasalahan kebijakan Dikdas untuk masa mendatang menjadi semakin kompleks
jika dimensi permasalahan dikembangkan kepada berbagai aspek penyelenggaraan
pendidikan terutama dalam masalah pendanaan dan ketenagaan. Pertanyaan
seperti apakah sistem pendanaan yang berlaku sekarang masih akan
dipertahankan mengingat fungsi unit penyelenggara pendidikan (terutama
sekolah negeri) hanyalah sebatas lembaga pembayar gaji dan pelaksana fungsi
keuangan lainnya. Peran unit pendidikan sebagai pengembang program yang
seharusnya dikaitkan dengan masalah pendanaan belum berlaku demikian pula
dalam pengangkatan ketenagaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa
isi dan bagaimana suatu pendidikan dasar seharusnya?
2. Apakah
pendidikan dasar sudah berjalan dengan benar?
3. Apa
yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mencapai tujuan pendidikan
dasar?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Supaya
pendidikan dasar menjadi apa yang diharapkan.
2. Mengetahui
apakah sudah benarkah pendidikan dasar yang sudah berjalan.
3. Agar
pemerintah dapat mengupayakan untuk mencapai tujuan pendidikan dasar secara
tepat.
D.
Manfaat
Penelitian
1. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan dsar
yang sedang berlangsung.
2. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesuksesan pendidikan dasar kini.
3. Hsil
penelitian ini diharapkan agar menjadi inspirasi bagi kebijakan yang mungin
akan dibuat di masa mendatang.
II.
Pembahasan
Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 pasal 13 ayat (1) merumuskan pendidikan
dasar sebagai: Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuanserta memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk
hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi
persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah". Pengertian yang dianut pemerintah dan tercantum dalam undang-undang tersebut memberikan suatu pengertian yang sangat jelas mengenai apa yang diharapkan masyarakat dari jenjang pendidikan dasar. Setiap peserta jenjang pendidikan dasar diharapkan memiliki berbagai kualitas yang dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat. Artinya, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengembangan individu peserta didik dan kepentingan masyarakat.
Dalam penjelasan mengenai pasal 13 tersebut ayat (1) dikemukakan bahwa
pendidikan dasar memberikan kemampuan dasar seperti "keimanan dan ketaqwaan,
pembangunan watak dan kepribadian serta pemberian pengetahuan dan
ketrampilan dasar". Pengertian Pendidikan Dasar sebagai pendidikan yang
mengembangkan kualitas minimal bagi seluruh bangsa Indonesia memang tidak
tercantum secara eksplisit dalam dokumen hukum tersebut. Meskipun demikian,
secara implisit pasal 13 dan penjelasannya memberikan impresi yang kuat
bahwa pendidikan dasar haruslah mampu mengembangkan kualitas minimal yang
harus dimiliki seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu Kurikulum
Pendidikan Dasar haruslah mampu mengembangkan potensi yang ada pada setiap
anak untuk memiliki kualitas minimal yang diperlukan sebagai warganegara
Indonesia. Demikian pula dengan kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan
pendidikan dasar dalam berbagai aspek pelaksana pendidikan.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 13 tersebut dikemukakan bahwa pendidikan
dasar mempunyai masa belajar selama 9 tahun terdiri atas 6 tahun pendidikan
di Sekolah Dasar (SD) dan 3 tahun di unit pendidikan lain setelah SD yang
dapat melalui pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) tetapi
dapat juga melalui unit-unit pendidikan lainnya yang dianggap sederajat.
Dalam pengertian ini maka pengertian pendidikan dasar sama dengan program
pemerintah yang dikenal dengan nama Wajib Belajar (WAJAR) 9 Tahun yang telah
dikemukakan terlebih dahulu di bagian pendahuluan makalah ini.
Kualitas minimal untuk pendidikan dasar yang harus dimiliki seorang peserta
didik ditentukan oleh pengalaman belajar yang dimilikinya, latar belakang
sosial-budaya, latar belakang keluarga, dan mootivasi pribadi peserta didik
tersebut. Pengalaman belajar yang dilaluinya ditentukan oleh berbagai faktor
pendidikan seperti filsafat pendidikan yang digunakan dalam mengembangkan
kebijakan pendidikan yang digunakan dalam mengembangkan
kebijakan pendidikan, fasilitas pendidikan dan kurikulum, intensitas
pengalaman (time engagement) dilihat dari interaksi peserta didik dengan
guru, teman, dan sumber belajar lainnya, konteks sosial-budaya masyarakat
terutama dalam pengertian ekpektasi dan apresiasi masyarakat terhadap
pendidikan.
Desentralisasi memberikan kedekatan pendidikan dengan pemakai langsung hasil
pendidikan tersebut. Dalam konteks yang demikian maka stake-holder dapat
melakukan partisipasi dan pengawasan langsung terhadap kebijakan pendidikan
di daerahnya. Stake holder dapat langsung melibatkan dirinya dalam proses
pembuatan keputusan (walau pun mungkin sekali secara tidak langsung),
melakukan pengawasan terhadap proses pendidikan dan penilaian apakah
kebijakan pendidikan di wilayahnya telah sesuai dengan kepentingan anak
didik, wilayah, dan masyarakat serta telah dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan yang telah diputuskan.
Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 pasal 13 ayat (1) merumuskan pendidikan
dasar sebagai: Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuanserta memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk
hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi
persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah". Pengertian yang dianut pemerintah dan tercantum dalam undang-undang tersebut memberikan suatu pengertian yang sangat jelas mengenai apa yang diharapkan masyarakat dari jenjang pendidikan dasar. Setiap peserta jenjang pendidikan dasar diharapkan memiliki berbagai kualitas yang dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat. Artinya, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengembangan individu peserta didik dan kepentingan masyarakat.
Dalam penjelasan mengenai pasal 13 tersebut ayat (1) dikemukakan bahwa
pendidikan dasar memberikan kemampuan dasar seperti "keimanan dan ketaqwaan,
pembangunan watak dan kepribadian serta pemberian pengetahuan dan
ketrampilan dasar". Pengertian Pendidikan Dasar sebagai pendidikan yang
mengembangkan kualitas minimal bagi seluruh bangsa Indonesia memang tidak
tercantum secara eksplisit dalam dokumen hukum tersebut. Meskipun demikian,
secara implisit pasal 13 dan penjelasannya memberikan impresi yang kuat
bahwa pendidikan dasar haruslah mampu mengembangkan kualitas minimal yang
harus dimiliki seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu Kurikulum
Pendidikan Dasar haruslah mampu mengembangkan potensi yang ada pada setiap
anak untuk memiliki kualitas minimal yang diperlukan sebagai warganegara
Indonesia. Demikian pula dengan kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan
pendidikan dasar dalam berbagai aspek pelaksana pendidikan.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 13 tersebut dikemukakan bahwa pendidikan
dasar mempunyai masa belajar selama 9 tahun terdiri atas 6 tahun pendidikan
di Sekolah Dasar (SD) dan 3 tahun di unit pendidikan lain setelah SD yang
dapat melalui pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) tetapi
dapat juga melalui unit-unit pendidikan lainnya yang dianggap sederajat.
Dalam pengertian ini maka pengertian pendidikan dasar sama dengan program
pemerintah yang dikenal dengan nama Wajib Belajar (WAJAR) 9 Tahun yang telah
dikemukakan terlebih dahulu di bagian pendahuluan makalah ini.
Kualitas minimal untuk pendidikan dasar yang harus dimiliki seorang peserta
didik ditentukan oleh pengalaman belajar yang dimilikinya, latar belakang
sosial-budaya, latar belakang keluarga, dan mootivasi pribadi peserta didik
tersebut. Pengalaman belajar yang dilaluinya ditentukan oleh berbagai faktor
pendidikan seperti filsafat pendidikan yang digunakan dalam mengembangkan
kebijakan pendidikan yang digunakan dalam mengembangkan
kebijakan pendidikan, fasilitas pendidikan dan kurikulum, intensitas
pengalaman (time engagement) dilihat dari interaksi peserta didik dengan
guru, teman, dan sumber belajar lainnya, konteks sosial-budaya masyarakat
terutama dalam pengertian ekpektasi dan apresiasi masyarakat terhadap
pendidikan.
Desentralisasi memberikan kedekatan pendidikan dengan pemakai langsung hasil
pendidikan tersebut. Dalam konteks yang demikian maka stake-holder dapat
melakukan partisipasi dan pengawasan langsung terhadap kebijakan pendidikan
di daerahnya. Stake holder dapat langsung melibatkan dirinya dalam proses
pembuatan keputusan (walau pun mungkin sekali secara tidak langsung),
melakukan pengawasan terhadap proses pendidikan dan penilaian apakah
kebijakan pendidikan di wilayahnya telah sesuai dengan kepentingan anak
didik, wilayah, dan masyarakat serta telah dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan yang telah diputuskan.
Pengembangan kebijakan yang dekat dengan stake
holder memang akan
meningkatkan relevansi pendidikan dengan masyarakat. Tetapi dengan demikian
maka filsafat yang digunakan dalam mengembangkan kebijakan pendidikan harus
pula berubah dari yang berdasarkan pandangan filosofi orthodoks
(perenialisme dan esensialisme) ke pandangan filosofi yang modern
(rekonstruksi sosial dan progresif). Jika tidak maka kebijakan pendidikan
yang diambil hanya akan menjauhkan sekolah dari masyarakat seperti kenyataan
yang ada pada saat sekarang. Suatu hal yang harus diingat bahwadesentralisasi tidak akan mengubah posisi sekolah jika pandangan filosofi
yang sekarang digunakan tetap dipertahankan. Perubahan posisi sekolah dalam
konteks desentralisasi pendidikan baru terjadi hanyalah apabila pandangan
filosofi modern digunakan dalam pengambilan berbagai kebijakan tentang
pendidikan.
Pengembangan pendidikan dalam konteks desentralisasi yang sangat
memperhatikan kepentingan wilayah bukan tanpa resiko. Pengalaman
negara-negara Amerika Serikat, Australia, dan Inggeris menunjukkan adanya
resiko tersebut. Dalam konteks desentralisasi pendidikan kebijakan
pendidikan yang terlalu terfokus pada kepentingan wilayah akan memberikan
dampak yang tidak menguntungkan secara nasional. Berbagai kepentingan
nasional dapat terabaikan dan dengan demikian dapat menimbulkan problema
hidup berbangsa. Pengalaman ketiga negara yang disebutkan tadi bahkan
menjadi indikasi bahwa pengembangan kebijakan pendidikan yang terlalu
terfokus pada kepentingan wilayah dapat menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan secara nasional. Oleh karena itu sejak tahun 90-an di berbagai
negara tersebut problem ketimpangan dalam kualitas yang menyebabkan masalah
nasional tadi diatasi dengan pengembangan standar nasional sebagai kualitas
nasional yang harus menjadi kepeduliaan para pengambil kebijakan pendidikan.
meningkatkan relevansi pendidikan dengan masyarakat. Tetapi dengan demikian
maka filsafat yang digunakan dalam mengembangkan kebijakan pendidikan harus
pula berubah dari yang berdasarkan pandangan filosofi orthodoks
(perenialisme dan esensialisme) ke pandangan filosofi yang modern
(rekonstruksi sosial dan progresif). Jika tidak maka kebijakan pendidikan
yang diambil hanya akan menjauhkan sekolah dari masyarakat seperti kenyataan
yang ada pada saat sekarang. Suatu hal yang harus diingat bahwadesentralisasi tidak akan mengubah posisi sekolah jika pandangan filosofi
yang sekarang digunakan tetap dipertahankan. Perubahan posisi sekolah dalam
konteks desentralisasi pendidikan baru terjadi hanyalah apabila pandangan
filosofi modern digunakan dalam pengambilan berbagai kebijakan tentang
pendidikan.
Pengembangan pendidikan dalam konteks desentralisasi yang sangat
memperhatikan kepentingan wilayah bukan tanpa resiko. Pengalaman
negara-negara Amerika Serikat, Australia, dan Inggeris menunjukkan adanya
resiko tersebut. Dalam konteks desentralisasi pendidikan kebijakan
pendidikan yang terlalu terfokus pada kepentingan wilayah akan memberikan
dampak yang tidak menguntungkan secara nasional. Berbagai kepentingan
nasional dapat terabaikan dan dengan demikian dapat menimbulkan problema
hidup berbangsa. Pengalaman ketiga negara yang disebutkan tadi bahkan
menjadi indikasi bahwa pengembangan kebijakan pendidikan yang terlalu
terfokus pada kepentingan wilayah dapat menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan secara nasional. Oleh karena itu sejak tahun 90-an di berbagai
negara tersebut problem ketimpangan dalam kualitas yang menyebabkan masalah
nasional tadi diatasi dengan pengembangan standar nasional sebagai kualitas
nasional yang harus menjadi kepeduliaan para pengambil kebijakan pendidikan.
Indonesia
tidak perlu melalui pengalaman pahit untuk dapat menyadari hal
tersebut. "Hard lessons" yang kita peroleh dari pengalaman negara lain dapat
dijadikan "surrogate experiences" dan dengan demikian kita tidak perlu
mengulangi kesalahan yang telah terjadi. Artinya, dengan demikian pemerintah
pusat harus pula mampu mengembangkan kebijakan yang dijadikan pegangan bagi
para pengambil kebijakan daerah dalam menjaga kepentingan nasional.
Kepentingan nasional tersebut dapat diterjemahkan sebagai kualitas minimal
manusia Indonesia dan harus dijadikan kualitas minimal dalam setiap
kebijakan dan keputusan pendidikan di daerah.
Berdasarkan pengamatan mengenai apa yang terjadi dalam panggung kehidupan
kebangsaan pada tingkat nasional maka dapat diidentifikasi beberapa kualitas
minimal manusia Indonesia itu yaitu:
tersebut. "Hard lessons" yang kita peroleh dari pengalaman negara lain dapat
dijadikan "surrogate experiences" dan dengan demikian kita tidak perlu
mengulangi kesalahan yang telah terjadi. Artinya, dengan demikian pemerintah
pusat harus pula mampu mengembangkan kebijakan yang dijadikan pegangan bagi
para pengambil kebijakan daerah dalam menjaga kepentingan nasional.
Kepentingan nasional tersebut dapat diterjemahkan sebagai kualitas minimal
manusia Indonesia dan harus dijadikan kualitas minimal dalam setiap
kebijakan dan keputusan pendidikan di daerah.
Berdasarkan pengamatan mengenai apa yang terjadi dalam panggung kehidupan
kebangsaan pada tingkat nasional maka dapat diidentifikasi beberapa kualitas
minimal manusia Indonesia itu yaitu:
·
Manusia yang religius
·
Semangat persatuan dan kebangsaan
·
Kehidupan demokratis baik sosial,
politik mau pun ekonomi
·
Tranformasi masyarakat agraris ke masyarakat
industri dan
teknologis
teknologis
·
Toleransi akan perbedaan
· Wawasan nasional dan global tanpa kehilangan wawasan lokal
· Disiplin, taat hukum, kerja keras dan teguh dalam persaingan yang
fair
· Orientasi kehidupan yang lebih rasional pendidikan, fasilitas pendidikan dan kurikulum, intensitas pengalaman (time engagement) dilihat dari interaksi peserta didik dengan guru, teman, dan sumber belajar lainnya, konteks sosial-budaya masyarakat terutama dalam pengertian ekpektasi dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.
· Wawasan nasional dan global tanpa kehilangan wawasan lokal
· Disiplin, taat hukum, kerja keras dan teguh dalam persaingan yang
fair
· Orientasi kehidupan yang lebih rasional pendidikan, fasilitas pendidikan dan kurikulum, intensitas pengalaman (time engagement) dilihat dari interaksi peserta didik dengan guru, teman, dan sumber belajar lainnya, konteks sosial-budaya masyarakat terutama dalam pengertian ekpektasi dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.
III.
Kesimpulan
Pengembangan
konteks pendidian dalam konteks desentralisasi tidak bagus bagi dan berdampak
menurunnya pendidikan nasional. Kualitas minimal untuk pendidikan dasar yang
harus dimiliki seorang peserta didik ditentukan oleh pengalaman belajar yang
dimilikinya, latar belakang sosial-budaya, latar belakang keluarga, dan
mootivasi pribadi peserta didik
tersebut.
Pengalaman belajar yang dilaluinya ditentukan oleh berbagai faktor
pendidikan
seperti filsafat pendidikan yang digunakan dalam mengembangkan
kebijakan
pendidikan yang digunakan dalam mengembangkan
kebijakan
pendidikan, fasilitas pendidikan dan kurikulum, intensitas
pengalaman
(time engagement) dilihat dari interaksi peserta didik dengan
guru,
teman, dan sumber belajar lainnya, konteks sosial-budaya masyarakat
terutama
dalam pengertian ekpektasi dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.
Oleh
karena itu pemerintah mengambil kebijakan dengan standar kompetansi belajar di berlakukan
dalam di negeri Indonesia pada setiap daerah. Sehingga mutu pendidikan bangsa
kita tidak terlalu rendah dan mengalami peningkatan pada setiap daerah dan
mampu untuk bersaing dan tidak perlu pengalaman pahit untuk menyadari hal
tersebut.
VI. Daftar Pustaka
Bijaksana Arif. 2010.
Wilkipedia Yahoo Group . Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar