Hingar-bingar perayaan kemerdekaan Ri ini memang cukup melekat di hati
rakyat Indonesia bahkan hingga hari ini perayaan tersebut masih
berlangsung di tempat saya bekerja. Pesta rakyat berupa perlombaan
tradisional yang lekat dengan acara memeriahkan Hari Jadi Negeri ini pun
digelar. Walaupun semua itu kadang bukan makna perayaannya tetapi
lebih pada euforianya . Apalagi dengan segala bentuk permasalahan yang
melilit bangsa ini menjadikan sebagia warga negara ini menjadi apatis
dan apriori dengan makna kemerdekaan.
Dalam ketermenungan saya
mengawasi siswa mengikuti perayaan mengingatkan saya dengan sebuah
obrolan bersama salah seorang tamu peserta upacara di Tugu Proklamasi.
Sabtu, 17 Agustus yang lalu. Saat itu saya hadir di Tugu Proklamasi
sekitar pukul 09.00. Maksud hati ingin mengikuti upacara peringatan hari
kemerdekaan. Ternyata saya salah jadwal karena upacara sudah
berlangsung sejak pukul 08.00-08.30, dengan kata lain saya terlambat dan
upacara telah selesai. Tentu saya agak sedikit kecewa walaupun demikian
saya tidak langsung pulang. Saya mengambil tempat duduk paling belakang
sambil menikmati suara Kikan salah seorang vokalis sebuah Band cukup
ternama di negeri ini. Penampilan Kikan di depan Tugu proklamasi ini
disiarkan secara langsung oleh TV ONE.
Tidak seberapa lama
kekecewaan saya sedikit terhibur ketika saya bertemu dengan salah
seorang panitia pelaksana kegiatan sebut saja Pak Roni. Beliau ini salah
satu pengurus Yayasan SA/CSA (Student Army) atau Tentara Pelajar
Pejuang Kemerdekaan. Memang beliau ini bukan pejuang itu sendiri, tetapi
ayah dan mertua Pak Roni merupakan anggota Tentara Pelajar di bawah
pimpinan Brigjen ANM Ing. Slamet Riyadi. Yayasan ini berusaha
melanjutkan semboyan Brigjen Slamet Riyadi yang berbunyi “Jangan ingin
dirayakan sebagai Pahlawan tetapi isilah kemerdekaan ini dengan jiwa
kepahlawanan”. Semboyan ini pula yang telah menggerakkan anggota yayasan
SA/CSA sejak tahun 2008 menggagas peringatan Kemerdekaan di Tugu
Proklamasi. Setelah ngobrol beberapa saat, kemudian beliau menawarkan
perkenalan dengan seorang tamu berkebangsaan Jepang yang telah hadir
dalam upacara. Awalnya saya sedikit ragu untuk menerima tawaran
tersebut, karena saya sama sekali tidak paham Bahasa Jepang. Namun,
akhirnya saya menerima tawaran itu setelah beliau menjelaskan bahwa
tamunya seorang dosen dari salah satu perguruan tinggi di Jepang yang
juga membawa seorang penerjemah. Singkat cerita, jadilah kami ngobrol
tentang kemerdekaan.
Tsukasa Hasegawa, nama tamu tersebut.
Beliau ini seorang dosen muda dari salah satu perguruan tinggi di Jepang
yang juga terlibat aktif dalam suatu organisasi Nippon Kaigi,
organisasi pencinta sejarah dan bela negara. Mr. Tsukasa Hasegawa sudah
lima kali datang ke Indonesia karena merasa kagum terhadap bangsa
Indonesia. Baginya negeri ini menjadi menarik bukan sekadar negara bekas
jajahannya semata. Di mata beliau, bangsa kita ini adalah bangsa yang
hebat dan mempunyai jiwa patriotik yang besar. Bagaimana tidak? Baginya
negeri ini menjadi sangat istimewa karena kita bisa mempunyai seremonial
yang menyatakan bahwa kita menjadi sebuah negara merdeka. Ia merasa
bahwa tanggal 17 Agustus layak untuk selalu diperingati karena memang
hari tersebut merupakan mementum berdirinya negeri ini.
Hasegawa belajar dari sejarah yang ada di negerinya tentang kemerdekaan
Indonesia. Bagaimanapun ia bangga karena Jepang memiliki kontribusi
khusus terhadap kemerdekaan negeri ini. Menurutnya tentara PETA cukup
memberikan kontribusi tersebut. PETA (Pembela Tanah Air) merupakan
tentara bangsa Indonesia tetapi dipersiapkan, dibentuk, dilatih, dan
dipersenjatai oleh pemerintah Jepang. Menurutnya hal ini cukup
membanggakan. (“Walaupun saya secara pribadi agak terkejut mendengar
cerita sejarah ini, karena dalam sejarah kita Indonesia menang melawan
penjajah dengan senjata bambu runcing.”)
Di samping itu ia
merasa sangat senang karena bangsa Indonesia secara umum sangat ramah
terhadap setiap orang atau tamu yang datang berkunjung. Jepang memang
mengajarkan kepada anak-anak untuk cinta negeri, tetapi semua itu tidak
terasa dampaknya dalam keseharian mereka. Di Jepang spirit dan
kedisiplinan begitu tinggi hingga membuat mereka cepat menjadi negara
yang sangat maju. Akan tetapi, sikap peduli terhadap sesama dirasanya
kurang.
Kesan nasionalisme yang tinggi juga sangat terasa pada
bangsa Indonesia. Melalui upacara bendera menurutnya menjadi salah satu
buktinya. Hasegawa menegaskan bahwa hal tersebut tidak akan dijumpai di
Jepang. Di Negara Jepang sendiri tidak pernah ada yang namanya upacara
dan mengibarkan bendera kebangsaan. Bahkan satu hal yang terasa agak
menggelitik bagi bangsa Jepang sendiri adalah tentang lagu kebangsaan
Jepang Kimigayo.
Lagu kebangsaan Kimigayu pun hampir tidak
pernah dinyanyikan. Seandainya dinyanyikan generasi muda di sana banyak
yang tidak paham akan makna lagu. Menurut Hasegawa, lagu Kimigayu memang
menggunakan kata-kata yang sangat puitis. Memang makna lagu itu sangat
baik dan berusaha memberikan spirit bagi pemuda di Jepang. Namun,
permasalahannya para pemuda di Jepang sendiri banyak yang tidak paham
akan makna lagu tersebut.
Sementara ia begitu bangga dengan
orang Indonesia yang sering mengibarkan bendera merah putih dan
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selain lagu Indonesia Raya menurutnya
banyak lagu nasional kita yang sungguh-sungguh membangkitkan semangat.
Hasegawa menyebutkan salah satu lagu kesukaannya yang berjudul Syukur
karya H. Mutahar . Menurutnya lagu itu begitu indah dan sangat
membangkitkan cinta pada tanah air.
Hasegawa pun mengakui
bangsa Jepang saat ini memang menjadi salah satu bangsa yang maju di
dunia. Akan tetapi, kalau berbicara tentang suatu kebangsaan Jepang
merasa tidak sesakral dibandingkan dengan bangsa Indonesia. Sebagai
pencinta sejarah dan kelompok patriotik, ia pun mengungkapkan kekosongan
jiwanya sehubungan dengan kondisi negerinya. Jepang saat ini memang
maju dari bidang teknologi dan industri. Namun, kalau kembali akan
menghargai sejarah, ia tidak bisa membanggakan negaranya. Kenapa?
Mungkin pertanyaan itu akan muncul di benak kita dan mungkin hal ini
juga tidak pernah terpikir dalam pikiran kita. Ternyata, mereka
merasakan bahwa negerinya tidak pernah memproklamirkan diri sebagai
negara yang merdeka dari tindakan Amerika khususnya berkaitan dengan
pengeboman Nagasaki dan Hiroshima. Memang Amerika tidak pernah lagi
menyinggung atau mengganggu Jepang, tetapi peristiwa ini menjadikan
dirinya berkecil hati. Dari sinilah semakin nyata akan pepatah yang
mengatakan,” Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan
sejarah.” Nah pepatah ini memang sangat layak disandang oleh orang-orang
Jepang. Mereka ingin menghargai sejarah negerinya namun tak ada sejarah
yang layak dikenang.
Berkaitan dengan sejarah ini, ada satu
pertanyaan bahkan bisa kita maknai sebagai pesan. Pertanyaan yang
diajukan oleh Hasegawa yaitu berhubungan dengan tempat pelaksanaan
Upacara. Saat upacara proklamasi kemerdekaan dilakukan di Tugu
Proklamasi mengapa bukan dipimpin oleh Presiden? Bukankah tempatnya juga
tidak terlalu jauh dari istana? Menurutnya tempat ini justru yang
memiliki sejarah yang sangat penting. Sementara upacara di istana hanya
merupakan seremonial belaka yang menurutnya makna perayaan jauh akan
lebih mendalam jika diadakan di Tugu Proklamasi. Selain itu kritikan
terhadap perawatan Tugu Proklamasi pun dilontarkannya. Sebagai tempat
bersejarah, Tugu Proklamasi dianggapnya kurang perawatan. Seharusnya
tempat ini mendapat perhatian secara khusus. Setidaknya tempat ini telah
menorehkan sejarah bagi bangsa ini. Tentu kritikan ini ditujukan kepada
pemerintah RI dan tentunya juga para generasi muda yang dinilainya
belum optimal dalam menghargai dan merawat tempat yang memiliki nilai
sejarah.
Akhirnya, Hasegawa pun menambahkan bahwa tempat dan
cara perayaan ini mungkin sudah ada pertimbangannya. Yang jelas
nasionalisme yang tinggi tetap terjaga di negeri ini melalui
upacara-upacara bendera yang sering dilakukan di kantor pemerintah atau
di sekolah-sekolah. Pengibaran Bendera Merah Putih mewujudkan kecintaan
para pemuda terhadap negerinya yang tak dijumpainya di Jepang. Salam
Rangkuman obrolan penulis denganTsukasa Hasegawa (A Member of Nippon Kaigi) dan Ir. Ronni Saroso KS (SA/CSA)