Cari Disini

Selasa, 27 Agustus 2013

jersey grade ori terbaru


promo awal musim
beli 2 hanya 250 rb
ready stock jersey grade ori klub apa saja
segera dapatkan jersey bola klub kesayangan kamu sekarang juga
jangan ngaku suporter fanatik kalau belum beli jersey grade ori 99% mirip aslinya
contak : 085866839808

AMIR SYARIFUDDIN : Pejuang Kemerdekaan Yang Dicap Pemberontak


Amir Syarifuddin Harahap adalah seorang pejuang Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya Negara Republik Indonesia. Lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – wafat di Solo, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun.
Masa hidup Amir Syarifuddin terentang sepanjang paruh pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan dan kegagalan harapan-harapan besar dari jamannya, seperti yang terungkap dalam kata-kata “Kemerdekaan Nasional”, “Kedaulatan Rakyat”, dan “Sosialisme”. Seperti juga di mana-mana, di Indonesia pun, bagi barang siapa yang ambil bagian di dalamnya, semua kata-kata itu dipadatkan dalam sepatah kata saja: “Revolusi”.
Pada masa penjajahan Belanda, saat itu ia sebagai salah seorang di antara aktivis mahasiswa yang sangat dikenali polisi, dan juga sebagai salah seorang pembantu terdekat Sukarno di dalam Partindo (Partai Indonesia) dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena pelanggaran undang-undang pers. Tetapi hukuman penjara itu menyebabkan keputusan pembuangan tersebut menjadi tertunda. la dipenjarakan di rumah penjara politik pusat Sukamiskin di dekat Bandung.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Dalam penjara Jepang, ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas. Tak ada rasa sesal dan takut pun dalam dirinya untuk membebaskan Rakyat Indonesia dari kekejaman Jepang.
Setelah kemerdekaan, Amir menjabat menteri pertahanan. Ketika kabinet Syahrir jatuh tahun 1947, Amir ditujuk sebagai Perdana Menteri. Namun, kabinet Amir kehilangan dukungan pada saat penandatanganan perjanjian renville. Kejatuhan kabinet Amir dimanfaatkan kubu lawannya, yakni Hatta. Kepada mereka yang tidak setuju dengan program Hatta disingkirkan dari kedudukannya dan dipenjara. Dengan dalih tersangkut peristiwa Madiun mereka dijebloskan dalam penjara tanpa diadili. 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu. Kini sejarah membuktikan bahwa Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya tidak pernah memberontak kepada negaranya tetapi hanya fitnah belaka.

PES 1945

Quotes footballer of life

Kemerdekaan Indonesia Kontribusi Jepang?


Hingar-bingar perayaan kemerdekaan Ri ini memang cukup melekat di hati rakyat Indonesia bahkan hingga hari ini perayaan tersebut masih berlangsung di tempat saya bekerja. Pesta rakyat berupa perlombaan tradisional yang lekat dengan acara memeriahkan Hari Jadi Negeri ini pun digelar. Walaupun semua itu kadang bukan makna perayaannya tetapi lebih pada euforianya . Apalagi dengan segala bentuk permasalahan yang melilit bangsa ini menjadikan sebagia warga negara ini menjadi apatis dan apriori dengan makna kemerdekaan.
Dalam ketermenungan saya mengawasi siswa mengikuti perayaan mengingatkan saya dengan sebuah obrolan bersama salah seorang tamu peserta upacara di Tugu Proklamasi. Sabtu, 17 Agustus yang lalu. Saat itu saya hadir di Tugu Proklamasi sekitar pukul 09.00. Maksud hati ingin mengikuti upacara peringatan hari kemerdekaan. Ternyata saya salah jadwal karena upacara sudah berlangsung sejak pukul 08.00-08.30, dengan kata lain saya terlambat dan upacara telah selesai. Tentu saya agak sedikit kecewa walaupun demikian saya tidak langsung pulang. Saya mengambil tempat duduk paling belakang sambil menikmati suara Kikan salah seorang vokalis sebuah Band cukup ternama di negeri ini. Penampilan Kikan di depan Tugu proklamasi ini disiarkan secara langsung oleh TV ONE.

Tidak seberapa lama kekecewaan saya sedikit terhibur ketika saya bertemu dengan salah seorang panitia pelaksana kegiatan sebut saja Pak Roni. Beliau ini salah satu pengurus Yayasan SA/CSA (Student Army) atau Tentara Pelajar Pejuang Kemerdekaan. Memang beliau ini bukan pejuang itu sendiri, tetapi ayah dan mertua Pak Roni merupakan anggota Tentara Pelajar di bawah pimpinan Brigjen ANM Ing. Slamet Riyadi. Yayasan ini berusaha melanjutkan semboyan Brigjen Slamet Riyadi yang berbunyi “Jangan ingin dirayakan sebagai Pahlawan tetapi isilah kemerdekaan ini dengan jiwa kepahlawanan”. Semboyan ini pula yang telah menggerakkan anggota yayasan SA/CSA sejak tahun 2008 menggagas peringatan Kemerdekaan di Tugu Proklamasi. Setelah ngobrol beberapa saat, kemudian beliau menawarkan perkenalan dengan seorang tamu berkebangsaan Jepang yang telah hadir dalam upacara. Awalnya saya sedikit ragu untuk menerima tawaran tersebut, karena saya sama sekali tidak paham Bahasa Jepang. Namun, akhirnya saya menerima tawaran itu setelah beliau menjelaskan bahwa tamunya seorang dosen dari salah satu perguruan tinggi di Jepang yang juga membawa seorang penerjemah. Singkat cerita, jadilah kami ngobrol tentang kemerdekaan.

Tsukasa Hasegawa, nama tamu tersebut. Beliau ini seorang dosen muda dari salah satu perguruan tinggi di Jepang yang juga terlibat aktif dalam suatu organisasi Nippon Kaigi, organisasi pencinta sejarah dan bela negara. Mr. Tsukasa Hasegawa sudah lima kali datang ke Indonesia karena merasa kagum terhadap bangsa Indonesia. Baginya negeri ini menjadi menarik bukan sekadar negara bekas jajahannya semata. Di mata beliau, bangsa kita ini adalah bangsa yang hebat dan mempunyai jiwa patriotik yang besar. Bagaimana tidak? Baginya negeri ini menjadi sangat istimewa karena kita bisa mempunyai seremonial yang menyatakan bahwa kita menjadi sebuah negara merdeka. Ia merasa bahwa tanggal 17 Agustus layak untuk selalu diperingati karena memang hari tersebut merupakan mementum berdirinya negeri ini.

Hasegawa belajar dari sejarah yang ada di negerinya tentang kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun ia bangga karena Jepang memiliki kontribusi khusus terhadap kemerdekaan negeri ini. Menurutnya tentara PETA cukup memberikan kontribusi tersebut. PETA (Pembela Tanah Air) merupakan tentara bangsa Indonesia tetapi dipersiapkan, dibentuk, dilatih, dan dipersenjatai oleh pemerintah Jepang. Menurutnya hal ini cukup membanggakan. (“Walaupun saya secara pribadi agak terkejut mendengar cerita sejarah ini, karena dalam sejarah kita Indonesia menang melawan penjajah dengan senjata bambu runcing.”)

Di samping itu ia merasa sangat senang karena bangsa Indonesia secara umum sangat ramah terhadap setiap orang atau tamu yang datang berkunjung. Jepang memang mengajarkan kepada anak-anak untuk cinta negeri, tetapi semua itu tidak terasa dampaknya dalam keseharian mereka. Di Jepang spirit dan kedisiplinan begitu tinggi hingga membuat mereka cepat menjadi negara yang sangat maju. Akan tetapi, sikap peduli terhadap sesama dirasanya kurang.
Kesan nasionalisme yang tinggi juga sangat terasa pada bangsa Indonesia. Melalui upacara bendera menurutnya menjadi salah satu buktinya. Hasegawa menegaskan bahwa hal tersebut tidak akan dijumpai di Jepang. Di Negara Jepang sendiri tidak pernah ada yang namanya upacara dan mengibarkan bendera kebangsaan. Bahkan satu hal yang terasa agak menggelitik bagi bangsa Jepang sendiri adalah tentang lagu kebangsaan Jepang Kimigayo.

Lagu kebangsaan Kimigayu pun hampir tidak pernah dinyanyikan. Seandainya dinyanyikan generasi muda di sana banyak yang tidak paham akan makna lagu. Menurut Hasegawa, lagu Kimigayu memang menggunakan kata-kata yang sangat puitis. Memang makna lagu itu sangat baik dan berusaha memberikan spirit bagi pemuda di Jepang. Namun, permasalahannya para pemuda di Jepang sendiri banyak yang tidak paham akan makna lagu tersebut.

Sementara ia begitu bangga dengan orang Indonesia yang sering mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selain lagu Indonesia Raya menurutnya banyak lagu nasional kita yang sungguh-sungguh membangkitkan semangat. Hasegawa menyebutkan salah satu lagu kesukaannya yang berjudul Syukur karya H. Mutahar . Menurutnya lagu itu begitu indah dan sangat membangkitkan cinta pada tanah air.

Hasegawa pun mengakui bangsa Jepang saat ini memang menjadi salah satu bangsa yang maju di dunia. Akan tetapi, kalau berbicara tentang suatu kebangsaan Jepang merasa tidak sesakral dibandingkan dengan bangsa Indonesia. Sebagai pencinta sejarah dan kelompok patriotik, ia pun mengungkapkan kekosongan jiwanya sehubungan dengan kondisi negerinya. Jepang saat ini memang maju dari bidang teknologi dan industri. Namun, kalau kembali akan menghargai sejarah, ia tidak bisa membanggakan negaranya. Kenapa? Mungkin pertanyaan itu akan muncul di benak kita dan mungkin hal ini juga tidak pernah terpikir dalam pikiran kita. Ternyata, mereka merasakan bahwa negerinya tidak pernah memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka dari tindakan Amerika khususnya berkaitan dengan pengeboman Nagasaki dan Hiroshima. Memang Amerika tidak pernah lagi menyinggung atau mengganggu Jepang, tetapi peristiwa ini menjadikan dirinya berkecil hati. Dari sinilah semakin nyata akan pepatah yang mengatakan,” Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarah.” Nah pepatah ini memang sangat layak disandang oleh orang-orang Jepang. Mereka ingin menghargai sejarah negerinya namun tak ada sejarah yang layak dikenang.

Berkaitan dengan sejarah ini, ada satu pertanyaan bahkan bisa kita maknai sebagai pesan. Pertanyaan yang diajukan oleh Hasegawa yaitu berhubungan dengan tempat pelaksanaan Upacara. Saat upacara proklamasi kemerdekaan dilakukan di Tugu Proklamasi mengapa bukan dipimpin oleh Presiden? Bukankah tempatnya juga tidak terlalu jauh dari istana? Menurutnya tempat ini justru yang memiliki sejarah yang sangat penting. Sementara upacara di istana hanya merupakan seremonial belaka yang menurutnya makna perayaan jauh akan lebih mendalam jika diadakan di Tugu Proklamasi. Selain itu kritikan terhadap perawatan Tugu Proklamasi pun dilontarkannya. Sebagai tempat bersejarah, Tugu Proklamasi dianggapnya kurang perawatan. Seharusnya tempat ini mendapat perhatian secara khusus. Setidaknya tempat ini telah menorehkan sejarah bagi bangsa ini. Tentu kritikan ini ditujukan kepada pemerintah RI dan tentunya juga para generasi muda yang dinilainya belum optimal dalam menghargai dan merawat tempat yang memiliki nilai sejarah.

Akhirnya, Hasegawa pun menambahkan bahwa tempat dan cara perayaan ini mungkin sudah ada pertimbangannya. Yang jelas nasionalisme yang tinggi tetap terjaga di negeri ini melalui upacara-upacara bendera yang sering dilakukan di kantor pemerintah atau di sekolah-sekolah. Pengibaran Bendera Merah Putih mewujudkan kecintaan para pemuda terhadap negerinya yang tak dijumpainya di Jepang. Salam

Rangkuman obrolan penulis denganTsukasa Hasegawa (A Member of Nippon Kaigi) dan Ir. Ronni Saroso KS (SA/CSA)