Cari Disini

Rabu, 26 Desember 2018

RESENSI BUKU Dewi Sartika

Judul Buku: Dewi Sartika
Penulis: Rochiati Wiriaatmadja
Penerbit:  Depdikbud Proyek Pembinaan Sekolah Dasar
Cetakan: 1985
Jumlah hal.:  vi + 128 halaman

RESENSI BUKU Dewi Sartika
Diceritakan mengenai skandal politik keluarga Dewi Sartika. Dewi Sartika merupakan keturunan menak atau priyayi. Dari garis keturunan ibunya, ia adalah cucu dari Dalem Bintang, yakni Bupati Bandung pada tahun 1846-1874. Namun ayahnya, Raden Somaganara, yang sempat menjabat menjadi Patih Bandung bersama dengan kakek Dewi Sartika, R.Demang Soeriadiprdja menyusun sebuah penentangan terhadap terpilihnya RA Martanegara sebagai Bupati Bandung menggantikan Raden Adipati Kusumadilaga. Kejadian ini dikenal dengan Peristiwa Dinamit Bandung. Peristiwa ini terjadi pada 17 dan 20 Juli 1893. Akhirnya karena hal ini, Somanagara diasingkan ke Ternate dan kakek Dewi Sartika diasingkan ke Pontianak.

Saat ayahnya diasingkan, ibu Dewi Sartika turut serta ke Ternate. Dewi Sartika dan saudara-saudaranya dititipkan terpisah-pisah ke kerabat mereka. Dewi Sartika dititipkan pada pamannya, Raden Demang Suriakarta Adiningrat, kakak dari ibu Dewi Sartika. Pamannya adalah Patih Afdeling Cicalengka. Dewi Sartika tnggal disana sampai ia berusia 18 tahun. Kehidupannya di Cicalengka cukup berat. Ia adalah anak seorang buangan politik. Keluarganya sangat berhati-hati saat berinteraksi dengannya karena takut dicap sebagai pemberontak. Ia juga tidak bisa diperlakukan dengan seenaknya seperti rakyat biasa karena Dewi Sartika dari garis keturanannya adalah seorang menak. Ini menjadi dilema tersendiri. Kondisi ini yang kemudian menempa karakter Dewi Sartika. Bahkan diceritakan bahwa ia dengan kepandaiannya karena sempat bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) meski hanya sampai kelas 2, mengajarkan baca-tulis dan sedikit bahasa Belanda kepada anak-anak abdi dalam yang ada di lingkungan keluarga pamannya. Dan akhirnya setelah ibunya kembali dari Ternate ke Bandung karena kematian ayahnya di pengasingan, Dewi Sartika pun membuka sebuah sekolah di halaman belakang rumah ibunya.

Di Bab III buku ini sempat disinggung kondisi pendidikan anak perempuan di Indonesia yakni dimana pelajaran baca-tulis tidak dianggap cuku penting. Perempuan Indonesia diajar dan diharapkan untuk tahu tugas-tugasnya dalam mengelola rumah tangga, menerapkan tata krama, dan cara melakukan perjamuan. Akhirnya Dewi Sartika berinisiatif membuat sekolah yang mengajarkan baca-tulis dan keterampilan agar perempuan pribumi bisa lebih mandiri dan tidak benar-benar tergantung pada kaum laki-laki seperti ayah, suami atau kakak laki-lakinya.

Dalam bab IV diceritakan tentang perjuangan Dewi Sartika merintis Sakola Istri yang kemudian berubah nama menjadi Sakola Keutamaan Istri  dan kemudian menjadi Sekolah Raden Dewi. Banyak tantangan yang dihadapi Dewi Sartika. Mulai dari kecurigaan orang atas apa yang sedang ia lakukan, mengingat latar belakang keluarganya yang memiliki skandal sebagai orang-orang yang menentang kepemimpinan Martanegara yang saat itu masih menjabat sebagai Bupati; ada pula sikap antipati yang diterimanya dari kaum Menak yang menganggap Dewi Sartika tidak menghormati adat karena bersedia mengajari anak-anak perempuan dari berbagai kalangan, tidak dari kaum menak saja; hingga dia harus menelan harga diri dan menemui RA Martanegara untuk memperoleh dukungan agar sekolahnya bisa tetap berdiri. Perjuangan ini juga menunjukkan keteguhan hati seorang Dewi Sartika. Ia tidak hanya berbicara tentang pendidikan kaum perempuan, tapi melakukan perlawanan atas keberadaan kasta-kasta dalam masyarakat tempatnya hidup. Ia menentang feodalisme tidak hanya oleh penjajah mereka yang berbeda bangsa namun jaga kolonialisme yang dilakukan olah orang-orang sebangsanya sendiri terhadap yang lain.

Selain itu diceritakan tentang pilihan Dewi Sartika untuk menikah dengan R Agah Soeriawinata yang kerap disapa Raden Agah. Raden Agah adalah seorang duda. Dan tidak lazim saat itu perempuan menikah yang masih gadis menikah dengan lelaki seorang duda. Selain itu, Dewi Sartika juga sangat prihatin dengan masalah pelacuran, dan baginya untuk menghentikan pelacuran maka ia harus mendidik perempuan pribum untuk bisa mandiri. Caranya? Dengan mengajarkan mereka keterampilan yang bisa menghasilkan produk sehingga bisa menjadi sarana untuk memperoleh penghidupan. Inilah yang membuat ia semakin yakin untuk melanjutkan perjuangannya.

Dalam bab VI kita akan menemukan bahwa banyak juga cerita sedih yang mewarnai kehidupan Dewi Sartika. Saat 25 Juli 1939, Raden Agah meninggal secara mendadak. Kemudian pada saat kedatangan Jepang yang menggantikan Belanda menjajah Indonesia, Sekolah Raden Dewi diubah menjadi Sekolah Gadis No.29. Dewi Sartika menolak mengajar di sekolah itu. Setelah itu pada tahun 1946, Dewi Sartika mengungsi ke Garut saat terjadinya Bandung Lautan Api. Dan sejak saat itu ia tidak lagi kembali ke Bandung. Dewi Sartika menghembuskan nafas terakhir di kota Cineam pada 11 September 1947 karena sakit yang dideritanya.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar