Cari Disini

Kamis, 11 Juli 2013

Batavia From Belanda

Sejarah panjang Sunda Kalapa, penuh intrik dan pat gulipat para Penguasa — kaum Ningrat Banten, Pajajaran dan Mataram, dengan akal-akalan kaum Kolonial Portugis, Inggris dan tentunya Belanda, dengan organnya pemerintahan VOC. Akhirnya takluk di bawah Kolonialisme.
Tema yang jelas — menjual negeri secara koruptif. Rakyat tetap saja menjadi korban para Penguasa — kaum Feodal dan Kolonialis. Berdagang, Hak Pemungutan Pajak dan Cukai. Jual beli tanah untuk pijakan Kolonialisme.
Portugis yang membawa semangat Perang Salib ke Timur — mendapat pijakan dengan perjanjian tanggal 21 Agustus 1522 antara Pajajaran dengan Portugis. Portugis mendapat hak mendirikan benteng di pinggir Sungai Ciliwung………………….
Portugis, Inggris, dan Belanda bersaing ketat memperebutkan pengaruh di Banten dan Jakatra — Belanda memperoleh kesempatan di Jakatra, saat Kapten Jacque L’Hermite, perwakilan perdagangan di Banten, dengan instruksi Pieter Both, Sang Gubernur Jenderal. Dapat berunding dengan Pangeran Jakatra — berhasil dapat persetujuan untuk membangun sebuah ‘rumah dari kayu dan batu”.
Itu di bulan Nopember 1610 persetujuan dalam rangka Pangeran Jakatra memperkuat kedudukan terhadap Kerajaan Banten. Bagi Belanda itulah kesempatan untuk mengalihkan kekuatan dagangnya dari Banten ke Jakatra.
Tahun 1611 telah berdiri “Nassau Huis” di Jakatra.
Tahun 1618, delapan tahun kemudian — Sultan-sultan Sunda dan VOC terbelalak matanya — Inggris menunjukkan armada besarnya, yang berbasis di India, untuk mengancam seluruh kekuatan dari Maluku sampai kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.
Belanda memperkuat pijakannya di Jakatra — tanpa menghiraukan Pangeran Jakatra dan keberatan Kraton Mataram Surakarta — Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen mengubah “Nassau Huis” menjadi bangunan yang kokoh, yang lengkap dengan persenjataan senapan musket dan arquebuses, serta meriam.
“Nassau Huis” dan “Mauritius Huis” dihubungkan dengan tembok batu, menjadi bangunan persegi empat — yang kemudian dikenal sebagai “Kasteel Jakatra”.
Kegiatan Belanda memperkuat pertahanannya, ancaman armada Inggris, dan Anasir Sunda, menarik perhatian Sultan Kerajaan Banten. Sultan Banten hanya tertegun ketika mengetahui kecepatan pembangunan benteng Belanda — dilengkapi 40 meriam besar.
Tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen tanpa ragu-ragu, menabalkan bahwa kota itu bernama Batavia — mengabadikan nama salah satu Suku Orang Belanda di tanah Nederland (Negeri Londo).
Memang Orang Belanda mempunyai suku asal, sejak Sebelum Kekuasaan Romawi, 12 tahun BC, kira-kira 2024 tahun silam — mereka mempunyai Suku Batavi dan Suku Frisians.
Pada salah satu Sensus Hindia Belanda, mereka menetapkan penduduk Suku Sunda, Banten, Melayu — dan berbagai perantau Minangkabau, Batak, Bugis, Ambon, dan siapa saja yang bermukim di Batavia — tergolong Penduduk Batavi (baca, Betawi).
Melihat Sejarah ke belakang. Tahun 1527 Kemenangan pasukan Kerajaan Islam Demak Bintoro dibawah pimpinan Falatehan menaklukkan Sunda Kalapa — ia mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Jayakarta (belakangan Elite Hindia Belanda dan penduduknya mengucapkannya : Jakatra ………… dan kemudian hari diucapkan Republiken, Jakarta).

Powerpoint Perlawanan Rakyat Bali terhadap kolonialisme Belanda

histori of footballnesia



PADA mulanya, sepakbola di Hindia Belanda hanya dimainkan oleh orang-orang Barat, terutama Belanda. Sepakbola adalah prestise. Tak mau disebut warga negara kelas dua, sepakbola kemudian dimainkan oleh orang Tionghoa, juga bumiputera. Perkembangan ini ditunjang pula oleh kebijakan Politik Etis. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda seperti MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemene Middelbare School), dan HBS ((Hogere Burger School) mengajarkan olahraga, dan salah satunya sepakbola.
Klub sepakbola pertama yang terbentuk di Batavia adalah Bataviasche Cricket-En Football Club Rood-Wit, pada 28 September 1893. Setelah itu muncul klub-klub sepakbola di Surabaya, Bandung, Semarang, Malang, Surakarta, dan Yogyakarta. Semuanya berada di bawah naungan Netherlansche Indische Voetbal Bond (NIVB).
Keberadaan perkumpulan sepakbola Tionghoa, terutama di Surabaya, tak lepas dari peranan Perkumpulan Olahraga (POR) Gymnastiek en Sportvereeniging Tiong Hoa yang berdiri pada 31 Desember 1908. Awalnya, cabang olahraga dalam POR itu hanya senam, yakni senam standen (membangun piramid), senam ringen atau still rings (gelang-gelang), senam rekstok atau horizontal bar (palang tunggal), dan senam brug atau parallel bars (palang sejajar). Oei Kwie Liem kemudian mendirikan cabang sepakbola dalam POR pada 1915. Sejarah klub sepakbola Tionghoa Surabaya inilah yang jadi fokus RN Bayu Aji dalam buku ini.
Sepakbola menjadi olahraga populer. Ia menarik banyak penggemar. Kerusuhan antarsuporter sepakbola sempat menimbulkan konflik dan kesulitan POR Gymnastiek en Sportvereeniging Tiong Hoa. Pengurus cabang sepakbola berusaha meyakinkan pengurus cabang olahraga lainnya agar sepakbola tetap dipertahankan. Dan, berhasil. Cabang sepakbola tak jadi dibubarkan. Sepakbola justru bertambah besar dan mendapat simpati dari berbagai kalangan.
Tapi cobaan masih menghadang. Antara lain penggusuran lapangan Quick untuk dijadikan stasiun kereta api–mengingatkan kita pada penggusuran Stadion Menteng yang kini beralih-fungsi jadi Taman Menteng. Kesebelasan Tionghoa Surabaya segera mencari jalan keluar. Mereka menggalang dana untuk mencari lapangan baru. Akhirnya,  mereka bisa kembali memainkan si kulit bundar di lapangan baru, Cannalaan.
Pengorganisasian dan pengelolaan manajemen sepakbola Tionghoa Surabaya sangat baik. Sarana dan prasarananya memadai. Sehingga membuat klub ini tumbuh kuat dan disegani, hingga menjadi kiblat sepakbola Tionghoa di Surabaya dan Hindia Belanda. Ia juga berdiri sejajar dengan klub-klub besar sepakbola Tionghoa di Hindia Belanda, yakni UMS Batavia, YMC Bandung, dan Union Semarang. Bahkan dalam pertandingan antarkota, Tionghoa Surabaya menempatkan diri sebagai klub papan atas di Hindia Belanda. Sejumlah trofi kejuaran antarklub sepakbola Tionghoa yang berhasil disabet oleh Tionghoa Surabaya antara lain Piala Hoo Bie (1921-1922), Piala Tjoa Toan Hoen (1925), Piala CKTH (1927-1929), dan Piala HNVB (1930-1932).
Masa keemasan Tionghoa Surabaya terjadi pada 1939 dengan memenangi kompetisi SVB, Piala HNVB, dan Java Club Kampion. Raihan prestasi tersebut tak bisa disamai oleh klub lainnya, termasuk dari kalangan Belanda, apalagi bumiputra.
Tak heran jika dua pemain Tionghoa Surabaya, Tan Mo heng dan Tan Hong Djien, masuk tim nasional Hindia Belanda, Dutch East Indies (NIVU), untuk berlaga dalam Piala Dunia Prancis 1938.  Hindia Belanda mencatatkan diri sebagai negara Asia pertama yang masuk ke Piala Dunia.
Setelah Indonesia merdeka, etnis Tionghoa terus berkiprah dalam sepakbola. Sejumlah perkumpulan sepakbola didirikan warga Tionghoa. Di Jakarta ada UMS dan Chung Hua, yang masing-masing memiliki lapangan di Petak Sinkian dan Tamansari. Bahkan di era 1950-an dan 1960-an, sekitar 50 persen pemain tim nasional Indonesia adalah etnis Tionghoa. Nama-nama seperti Tan Liong Houw (Latif Harris Tanoto), Kuin Ciang, Phwa Sian Liong, The San Liong, Chris Ong, Tek An, Tjan Peng Kong, Mulyadi, Surya Lesmana, dan Lukman begitu tersohor. Mereka turut mengharumkan persepakbolaan nasional. Prestasi terbaik Indonesia di era itu adalah menahan seri 0-0 Uni Soviet di Olimpiade Melbourne pada 1956.
Kini, selama 30 tahun terakhir, sulit menemukan pemain keturunan Tionghoa di tim nasional, bahkan di klub-klub sepakbola yang ikut kompetisi Liga Indonesia. Kita hanya mengenal pemain-pemain asing dari Brasil, Kamerun, Nigeria, Argentina, atau Chile.
Iswadi Idris, pemain nasional era 1960 dan 1970-an yang pernah menjabat direktur Kompetisi dan Turnamen PSSI di masa kepemimpinan Agum Gumelar, punya catatan tentang keterlibatan Tionghoa di sepakbola. Menurutnya, sejak peristiwa G30S warga Tionghoa mulai menjauhi sepakbola. Mungkin karena Partai Komunis Indonesia, yang dituduh Orde Baru berada di balik peristiwa 1965 itu, diidentikkan dengan etnis ini, sehingga mereka takut melakukan aktivitas massal di ruang terbuka. Iswadi menduga mereka masih trauma, sehingga lebih memilih olahraga perseorangan seperti bulutangkis dan tenis meja.
Orde Baru, yang melanggengkan sentimen dan diskriminasi rasial, sudah tumbang. Keberagaman mulai diterima masyarakat. Perlahan tapi pasti muncul bibit-bibit baru pemain sepakbola Tionghoa. Ada Nova Arianto yang berkiprah di Persib Bandung, juga tim nasional. Tinggal, siapa lagi yang akan menyusul?