PADA mulanya, sepakbola di Hindia Belanda hanya
dimainkan oleh orang-orang Barat, terutama Belanda. Sepakbola adalah prestise.
Tak mau disebut warga negara kelas dua, sepakbola kemudian dimainkan oleh orang
Tionghoa, juga bumiputera. Perkembangan ini ditunjang pula oleh kebijakan
Politik Etis. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda seperti MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemene Middelbare School), dan
HBS ((Hogere Burger School) mengajarkan olahraga, dan salah satunya
sepakbola.
Klub sepakbola pertama yang terbentuk di Batavia
adalah Bataviasche Cricket-En Football Club Rood-Wit, pada 28 September
1893. Setelah itu muncul klub-klub sepakbola di Surabaya, Bandung, Semarang,
Malang, Surakarta, dan Yogyakarta. Semuanya berada di bawah naungan Netherlansche
Indische Voetbal Bond (NIVB).
Keberadaan perkumpulan sepakbola Tionghoa, terutama di
Surabaya, tak lepas dari peranan Perkumpulan Olahraga (POR) Gymnastiek en
Sportvereeniging Tiong Hoa yang berdiri pada 31 Desember 1908. Awalnya,
cabang olahraga dalam POR itu hanya senam, yakni senam standen (membangun
piramid), senam ringen atau still rings (gelang-gelang), senam rekstok
atau horizontal bar (palang tunggal), dan senam brug atau parallel
bars (palang sejajar). Oei Kwie Liem kemudian mendirikan cabang sepakbola
dalam POR pada 1915. Sejarah klub sepakbola Tionghoa Surabaya inilah yang jadi
fokus RN Bayu Aji dalam buku ini.
Sepakbola menjadi olahraga populer. Ia menarik banyak
penggemar. Kerusuhan antarsuporter sepakbola sempat menimbulkan konflik dan
kesulitan POR Gymnastiek en Sportvereeniging Tiong Hoa. Pengurus cabang
sepakbola berusaha meyakinkan pengurus cabang olahraga lainnya agar sepakbola
tetap dipertahankan. Dan, berhasil. Cabang sepakbola tak jadi dibubarkan.
Sepakbola justru bertambah besar dan mendapat simpati dari berbagai kalangan.
Tapi cobaan masih menghadang. Antara lain penggusuran
lapangan Quick untuk dijadikan stasiun kereta api–mengingatkan kita pada
penggusuran Stadion Menteng yang kini beralih-fungsi jadi Taman Menteng. Kesebelasan
Tionghoa Surabaya segera mencari jalan keluar. Mereka menggalang dana untuk
mencari lapangan baru. Akhirnya, mereka bisa kembali memainkan si kulit
bundar di lapangan baru, Cannalaan.
Pengorganisasian dan pengelolaan manajemen sepakbola
Tionghoa Surabaya sangat baik. Sarana dan prasarananya memadai. Sehingga
membuat klub ini tumbuh kuat dan disegani, hingga menjadi kiblat
sepakbola Tionghoa di Surabaya dan Hindia Belanda. Ia juga berdiri sejajar
dengan klub-klub besar sepakbola Tionghoa di Hindia Belanda, yakni UMS Batavia,
YMC Bandung, dan Union Semarang. Bahkan dalam pertandingan antarkota, Tionghoa
Surabaya menempatkan diri sebagai klub papan atas di Hindia Belanda. Sejumlah
trofi kejuaran antarklub sepakbola Tionghoa yang berhasil disabet oleh Tionghoa
Surabaya antara lain Piala Hoo Bie (1921-1922), Piala Tjoa Toan Hoen (1925),
Piala CKTH (1927-1929), dan Piala HNVB (1930-1932).
Masa keemasan Tionghoa Surabaya terjadi pada 1939
dengan memenangi kompetisi SVB, Piala HNVB, dan Java Club Kampion. Raihan
prestasi tersebut tak bisa disamai oleh klub lainnya, termasuk dari kalangan
Belanda, apalagi bumiputra.
Tak heran jika dua pemain Tionghoa Surabaya, Tan Mo
heng dan Tan Hong Djien, masuk tim nasional Hindia Belanda, Dutch East
Indies (NIVU), untuk berlaga dalam Piala Dunia Prancis 1938. Hindia
Belanda mencatatkan diri sebagai negara Asia pertama yang masuk ke Piala Dunia.
Setelah Indonesia merdeka, etnis Tionghoa terus
berkiprah dalam sepakbola. Sejumlah perkumpulan sepakbola didirikan warga Tionghoa.
Di Jakarta ada UMS dan Chung Hua, yang masing-masing memiliki lapangan di Petak
Sinkian dan Tamansari. Bahkan di era 1950-an dan 1960-an, sekitar 50 persen
pemain tim nasional Indonesia adalah etnis Tionghoa. Nama-nama seperti Tan
Liong Houw (Latif Harris Tanoto), Kuin Ciang, Phwa Sian Liong, The San Liong,
Chris Ong, Tek An, Tjan Peng Kong, Mulyadi, Surya Lesmana, dan Lukman begitu
tersohor. Mereka turut mengharumkan persepakbolaan nasional. Prestasi terbaik
Indonesia di era itu adalah menahan seri 0-0 Uni Soviet di Olimpiade Melbourne
pada 1956.
Kini, selama 30 tahun terakhir, sulit menemukan pemain
keturunan Tionghoa di tim nasional, bahkan di klub-klub sepakbola yang ikut
kompetisi Liga Indonesia. Kita hanya mengenal pemain-pemain asing dari Brasil,
Kamerun, Nigeria, Argentina, atau Chile.
Iswadi Idris, pemain nasional era 1960 dan 1970-an
yang pernah menjabat direktur Kompetisi dan Turnamen PSSI di masa kepemimpinan
Agum Gumelar, punya catatan tentang keterlibatan Tionghoa di sepakbola.
Menurutnya, sejak peristiwa G30S warga Tionghoa mulai menjauhi sepakbola.
Mungkin karena Partai Komunis Indonesia, yang dituduh Orde Baru berada di balik
peristiwa 1965 itu, diidentikkan dengan etnis ini, sehingga mereka takut
melakukan aktivitas massal di ruang terbuka. Iswadi menduga mereka masih
trauma, sehingga lebih memilih olahraga perseorangan seperti bulutangkis dan
tenis meja.
Orde Baru, yang melanggengkan sentimen dan
diskriminasi rasial, sudah tumbang. Keberagaman mulai diterima masyarakat.
Perlahan tapi pasti muncul bibit-bibit baru pemain sepakbola Tionghoa. Ada Nova
Arianto yang berkiprah di Persib Bandung, juga tim nasional. Tinggal, siapa
lagi yang akan menyusul?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar