Cari Disini

Rabu, 14 Agustus 2013

Mencari Jejak Gedung Proklamasi ?


==========================================

“Proklamasi. Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia, hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dll, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.”

Djakarta, 17-08-05

Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno-Hatta

==========================================

DI MANAKAH acara supersakti dan mahapenting bagi bangsa ini dikumandangkan? Jawaban yang benar, tentu, Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Pertanyaan selanjutnya: di manakah itu? Sayang seribu kali sayang, tempat itu tak ada jejak fisiknya. Paling jika ditelusuri, yang kita dapatkan adalah Patung Dwi Tunggal Soekarno-Hatta dengan latar belakang tugu-tugu berjumlah 17 di Jalan Proklamasi. di situ pula ada teks Proklamasi terbuat dari lempengan batu marmer hitam dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan ketikan naskah aslinya. Tempat di mana kerap disinggahi demonstran jika ingin mengadu nasib bangsa yang kerap mengabaikan sejarahnya.

Jika tak percaya, coba saja telusuri, misalnya dari arah Jalan Matraman. Lalu melewati Kali Ciliwung, dan sisi baratnya ada Gedung Pola sebuah bangunan bertingkat yang (sudah) menggantikan di Mana Bung Karno dengan suaranya yang mantap dan kerap diulang pada sekitar 17 Agustus sekarang ini. Miris? Inilah bangsa yang kerap menggampangkan apa yang menjadi tonggak sejarah paling penting sekalipun. Bagaimana tidak! Proklamasi, seperti kerap didengung-dengungkan founding father: sebagai jembatan emas, eh jejaknya tak ada. Kecuali melalui foto lapuk dalam buku-buku sejarah yang sering juga dilupakan anak bangsa.

Pagi itu, saat mentari cukup pendarnya. Seorang anak bermain lari-larian. Ada sesekali melintas orang-orang berpakaian kumal di sekitar Tugu Proklamasi, umumnya menuju rel kereta api sisi barat. Para pemulung yang sebagian tiduran di taman yang bukan antara pukul 06.00 hingga 21.00 Wib. Mereka tak hirau dengan dua sosok Bapak Bangsa dengan perbandingan dua kali dari tubuh asli mereka. Karena dua sosok itu hanyalah patung. “Rumah itu dibongkar tahun 1961, saat masih ada Bung Karno,” tutur Dr Asvi Warwan Adam, sejarawan LIPI (12/8) yang ditemui penulis di Taman Proklamator.

Menurut Dr Asvi, karena euforia (apalagi Pak Harto yang menganggap itu rumah Bung Karno) dan sebenarnya bangunan itu bangunan sederhana dan bisa direka ulang. Dan sisa-sisa fondasinya masih ada. Meski pada kenyataannya sampai sekarang tak ada, kecuali Gedung Pola bertingkat dan sepi pada hari-hari biasa. Apalagi, tambahnya sejarawan itu, jika dibangun ulang, sebenarnya tak terlalu mahal.

Salah satu foto bersejarah berkaitan dengan Proklamasi adalah Bung Hatta berdiri di atas sebuah meja kayu, yang dipegangi beberapa pemuda pelaku sejarah. Lalu berpidato. Seadanya, sesuai dengan gaya Bung Hatta yang tenang, santun, dan bermartabat. Di sekitarnya pemuda dengan pakaian sipil, ya … pakaian warga biasa. Namun itulah saat-saat bersejarah. Di sekitar detik-detik Proklamasi di sebuah tempat yang kini berwajah lain. Kecuali teks dari logam di Tugu Petir ini.

Rumah kayu menjadi latar belakang Bung Karno mengumandangkan teks Proklamasi itu benar-benar raib. Dimakan berhala yang bernama pemimpin setelah Bapak Pendiri Bangsa. Masih untung dengan digantikan dua patung Proklamator yang mewakili bangsa ini? Tidak seperti itu, mestinya. Penghormatan dengan pembuatan patung itu sudah selazimnya. Namun mempertahankan Gedung Bersejarah itu lebih daripada semestinya. Niscaya.

Sulit kita memberi pengertian kepada anak-cucu kita. Bahwa bangsa ini gampang sekali bermain sulap dengan sejarah bangsa, dan lebih-lebih tonggak yang dilenyapkan entah dengan alasan apa. Jika sekarang kita bisa dihibur dengan sekitar Pegangsaan Timur dengan adanya Tugu Proklamator di Jalan Proklamasi itu, tak lebih dari kebebalan kita yang mewarisinya. Mencari kepraktisan dalam memaknai sebuah perjuangan maha dahsyat dan superpenting itu.

Kapan-kapan, mumpung sekarang mendekati Proklamasi, datanglah dengan semangat merdeka, yang berarti bebas dari belenggu penjajahan. Lalu kita berteriak sama di sekitar Patung atau Tugu Proklamasi dengan Bung Karno yang telah terpilih mewakili kita sebagai bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945.