Cari Disini
Selasa, 30 Juli 2013
Akulturasi Kebudayaan Indonesia dengan Kebudayaan Islam dalam Aksara dan Seni Sastra -
Dalam perkembangan Islam, kesusastraan
Jawa umumnya berbentuk tembang, sedangkan di Sumatra dan Semenanjung Malaka
berbentuk tembang dan gancaran. Hikayat yang digubah dalam tembang disebut
syair. Syair yang tertua tertulis tahun 1380 terpahat pada batu nisan makam
seorang Raja Puteri Pasai (di Minye Tujoh), terdiri atas dua bait yang setiap
bait terdiri atas empat baris.
Tulisan yang dipakai dalam kesusastraan Jawa adalah Jawa Kuno, sedangkan kesusastraan di Sumatra umumnya ditulis dengan huruf Arab. Hasil karya sastra yang bernapaskan Islam, antara lain buku tasawuf yang ditulis oleh Hamzah Fansyuri, Nur al-Din al-Raniri (Nuruddin ar- Raniri), Abdul al-Rauf, dan Sunan Bonang; buku suluk primbon, pengantar fikih dan tafsir Alquran yang ditulis oleh Abdul al-Rauf.
Bersamaan dengan berkembangnya ajaran tasawuf, muncullah tarekat-tarekat, antara lain tarekat Qadariyah, Naqsyabandiah, Sammaniah, Syattariah, dan Rifa'i. Tarekat ialah jalan atau cara yang ditempuh oleh kaum sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Karya sastra lain yang dihasilkan pada masa Islam, antara lain Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Sejarah Melayu, Bustanus Salatin, dan Gurindam Dua belas. Dilihat dari corak dan isinya, kesusastraan yang berkembang sejak kedatangan Islam di Indonesia (zaman madya) dapat dibedakan sebagai berikut.
Hikayat adalah cerita atau dongeng yang berisi berbagai macam peristiwa sejarah. Keajaiban dan peristiwa yang tidak masuk akal bahkan menjadi bagian terpenting walaupun sering berpangkal pada seorang tokoh sejarah ataupun berkisar pada peristiwa sejarah. Misalnya, Panji Inu Kertapati, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Si Miskin, Hikayat Bahtiar, dan Hikayat Hang Tuah.
Tulisan yang dipakai dalam kesusastraan Jawa adalah Jawa Kuno, sedangkan kesusastraan di Sumatra umumnya ditulis dengan huruf Arab. Hasil karya sastra yang bernapaskan Islam, antara lain buku tasawuf yang ditulis oleh Hamzah Fansyuri, Nur al-Din al-Raniri (Nuruddin ar- Raniri), Abdul al-Rauf, dan Sunan Bonang; buku suluk primbon, pengantar fikih dan tafsir Alquran yang ditulis oleh Abdul al-Rauf.
Bersamaan dengan berkembangnya ajaran tasawuf, muncullah tarekat-tarekat, antara lain tarekat Qadariyah, Naqsyabandiah, Sammaniah, Syattariah, dan Rifa'i. Tarekat ialah jalan atau cara yang ditempuh oleh kaum sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Karya sastra lain yang dihasilkan pada masa Islam, antara lain Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Sejarah Melayu, Bustanus Salatin, dan Gurindam Dua belas. Dilihat dari corak dan isinya, kesusastraan yang berkembang sejak kedatangan Islam di Indonesia (zaman madya) dapat dibedakan sebagai berikut.
1. Hikayat
Hikayat adalah cerita atau dongeng yang berisi berbagai macam peristiwa sejarah. Keajaiban dan peristiwa yang tidak masuk akal bahkan menjadi bagian terpenting walaupun sering berpangkal pada seorang tokoh sejarah ataupun berkisar pada peristiwa sejarah. Misalnya, Panji Inu Kertapati, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Si Miskin, Hikayat Bahtiar, dan Hikayat Hang Tuah.
2. Babad
Babad ialah cerita sejarah yang biasanya lebih berupa
cerita daripada uraian sejarah walaupun yang menjadi pola memang peristiwa
sejarah. Di daerah Melayu, babad dikenal dengan nama sejarah, silsilah
(salasilah), dan tambo. Beberapa kitab babad diberi judul Hikayat, misalnya
Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Salasilah Perak, Sejarah Melayu, Babad
Giyanti, Babad Tanah Jawi, dan Sejarah Negeri Kedah.
3.
Suluk
Suluk adalah kitab yang
membentangkan soal tasawuf. Sifatnya panteis (manusia bersatu dengan Tuhan atau
masyarakat Jawa mengenal sebagai manunggaling kawula Gusti). Suluk merupakan
hasil kesusastraan tertua dari zaman madya yang berasal dari atau berhubungan
erat dengan para wali.
Pada zaman madya, muncul
kepandaian pahat memahat menjadi terbatas pada seni ukir hias. Untuk seni hias,
orang mengambil pola berupa daun-daunan, bunga-bungaan (teratai), bukit-bukit
karang, pemandangan dan garis geometri. Sering juga terdapat pada kalamakara
dan kalamarga (yaitu kijang menjadi pengganti makara). Hal itu sebenarnya
kurang sesuai dengan peraturan Islam, namun dapatjuga diterima karena tidak
dirasakan sebagai pelanggaran. Begitu juga dengan gambar-gambar ular naga yang
terdapat di sana-sini. Kedatangan Islam menambah lagi satu pola, yaitu
huruf-huruf Arab. Pola itu seringkali digunakan untuk menyamarkan lukisan
makhluk hidup, biasanya binatang dan bahkan juga untuk gambar wayang.
Sebelum kebudayaan Islam
memasuki wilayah Indonesia, sistem pemerintahan pada kerajaan di Indonesia
mendapat pengaruh budaya Hindu-Buddha. Setelah agama Islam beserta
kebudayaannya masuk dan berkembang di Indonesia, lambat laun berpengaruh
terhadap sistem pemerintahan. Pada saat kedatangan Islam, di Indonesia sudah
berkembang bandar-bandar perdagangan. Agama Islam mengalami perkembangan yang
cepat melalui cara perdagangan sehingga terbentuk masyarakat Islam. Semakin
pesatnya pusat-pusat perdagangan dengan masyarakatnya yang beragama Islam,
berdirilah kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam.
5 Konsep Pembangunan Ekonomi Bung Karno !
Pada masa Bung Karno, ekonomi Indonesia cukup berdikari. Memasuki tahun
1960-an, hampir 80% aktivitas ekonomi sudah di tangan nasional. Banyak
perusahaan asing, khususnya milik Belanda, diambilalih dan dijadikan
perusahaan nasional.
Utang luar negeri juga terbilang kecil: 2,5 milyar USD. Sebanyak 1,6 milyar USD dipergunakan untuk memperkuat angkatan perang. Alhasil, angkatan perang Indonesia termasuk disegani di Asia. Lalu, sisanya dipakai membangun infrastruktur, seperti bendungan Jatiluhur, Krakatau Steel, pabrik pupuk (Sriwidjaya dan Petrokimia Gresik), dan lain-lain.
Memang, ekonomi jaman Bung Karno masih menyisakan masalah, seperti kemiskinan dan kenaikan harga sembako. Masalah saat itu sangat kompleks: ada sabotase ekonomi dari imperialis, ada kekacauan politik di sejumlah daerah, dan lain-lain.
Namun, banyak yang beranggapan, kalau saja proyek ekonomi berdikari Bung Karno tidak diinterupsi oleh Orde Baru, Indonesia sudah tampil sebagai kekuatan ekonomi besar saat ini. Setidaknya selevel dengan ekonomi China saat ini.
Di sini saya berusaha mengupas prinsip-prinsip pembangunan ekonomi era Bung Karno.
Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan mengurangi dominasi modal asing di Indonesia. Sejak jadi aktivis pergerakan di tahun 1930-an, Bung Karno sudah menyadari bahwa modal asing merupakan instrumen imperialisme. Kehadiran modal asing hanyalah untuk mengeruk kekayaan alam, menghisap tenaga kerja Indonesia, dan mengubah Indonesia sebagai pasarnya.
Bung Karno juga menyadari, selama modal asing masih bercokol, maka ekonomi nasional sulit berkembang. “Likuidasi ekonomi kolonial sebagai syarat mutlak untuk merintis jalan pembentukan ekonomi nasional,” ujar Bung Karno.
Kedua, percaya pada kekuatan sendiri (Self Help), khususnya pada kekuatan massa rakyat. Bung Karno meletakkan massyarakyat sebagai tulang-punggung pembangunan ekonomi. “Plan pembangunan kita harus merupakan plan massa,” kata Bung Karno.
Untuk itu, proyek pembangunan haruslah melibatkan partisipasi massa-rakyat. Tak hanya itu, pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan kemakmuran rakyat. Jika hal itu diabaikan, pembangunan belum tentu selaras dengan cita-cita kemakmuran rakyat.
Ketiga, memperkuat kedudukan ekonomi negara. Ini sejalan dengan prinsip pasal 33 UUD 1945. Sektor ekonomi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak—bersifat layanan publik/dasar—harus dikuasai oleh negara.
Selain itu, peran negara dalam perekonomian juga harus diperkuat. Hal itu untuk memastikan bahwa perekonomian berjalan sesuai rencana (terencana) dan hasilnya harus dinikmati sebesar-besarnya oleh massa rakyat. Selain itu, peran negara juga dimaksudkan untuk mencegah aksi spekulasi, penimbungan, sabotase, dan lain-lain.
Keempat, memberikan ruang kepada usaha swasta nasional, tetapi harus selaras dengan rencana pemerintah. Artinya, kehadiran swasta tidak boleh bertolak-belakang dengan cita-cita kemakmuran dan keadilan sosial. Untuk itu, kehadiran swasta hanya diperbolehkan di sektor non-strategis dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Kelima, melaksanakan perdagangan luar negeri yang bebas dan aktif. Perdagangan internasional haruslah dalam kerangka kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Bung Karno menekankan, ekspor Indonesia haruslah barang-barang jadi. Sedangkan impor hanya diberlakukan pada barang-barang yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri.
Zaman itu, modal asing tidak seluruhnya ditendang keluar. Beberapa dipertahankan asal tidak menggerus kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Di bidang migas, misalnya, masih ada “Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell).
Bung Karno kemudian memaksa ketiga perusahaan itu untuk melakukan negosiasi. Hasilnya: pembagian keuntungan 60:40 (60% untuk Indonesia dan 40% untuk kontraktor), perusahaan asing itu wajib menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah lima tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun, dan mewajibkan perusahaan asing untuk menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap.
Tak hanya itu, supaya kelak Indonesia bisa mengelola sendiri sumber daya alamnya, Bung Karno mengirimkan ribuan putra-putri Indonesia untuk belajar kemajuan teknik di luar negeri, khususnya Eropa Timur dan Uni Soviet. Harapannya, setelah mahasiswa itu tamat, mereka akan kembali ke tanah air dan membangun negeri.
Utang luar negeri juga terbilang kecil: 2,5 milyar USD. Sebanyak 1,6 milyar USD dipergunakan untuk memperkuat angkatan perang. Alhasil, angkatan perang Indonesia termasuk disegani di Asia. Lalu, sisanya dipakai membangun infrastruktur, seperti bendungan Jatiluhur, Krakatau Steel, pabrik pupuk (Sriwidjaya dan Petrokimia Gresik), dan lain-lain.
Memang, ekonomi jaman Bung Karno masih menyisakan masalah, seperti kemiskinan dan kenaikan harga sembako. Masalah saat itu sangat kompleks: ada sabotase ekonomi dari imperialis, ada kekacauan politik di sejumlah daerah, dan lain-lain.
Namun, banyak yang beranggapan, kalau saja proyek ekonomi berdikari Bung Karno tidak diinterupsi oleh Orde Baru, Indonesia sudah tampil sebagai kekuatan ekonomi besar saat ini. Setidaknya selevel dengan ekonomi China saat ini.
Di sini saya berusaha mengupas prinsip-prinsip pembangunan ekonomi era Bung Karno.
Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan mengurangi dominasi modal asing di Indonesia. Sejak jadi aktivis pergerakan di tahun 1930-an, Bung Karno sudah menyadari bahwa modal asing merupakan instrumen imperialisme. Kehadiran modal asing hanyalah untuk mengeruk kekayaan alam, menghisap tenaga kerja Indonesia, dan mengubah Indonesia sebagai pasarnya.
Bung Karno juga menyadari, selama modal asing masih bercokol, maka ekonomi nasional sulit berkembang. “Likuidasi ekonomi kolonial sebagai syarat mutlak untuk merintis jalan pembentukan ekonomi nasional,” ujar Bung Karno.
Kedua, percaya pada kekuatan sendiri (Self Help), khususnya pada kekuatan massa rakyat. Bung Karno meletakkan massyarakyat sebagai tulang-punggung pembangunan ekonomi. “Plan pembangunan kita harus merupakan plan massa,” kata Bung Karno.
Untuk itu, proyek pembangunan haruslah melibatkan partisipasi massa-rakyat. Tak hanya itu, pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan kemakmuran rakyat. Jika hal itu diabaikan, pembangunan belum tentu selaras dengan cita-cita kemakmuran rakyat.
Ketiga, memperkuat kedudukan ekonomi negara. Ini sejalan dengan prinsip pasal 33 UUD 1945. Sektor ekonomi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak—bersifat layanan publik/dasar—harus dikuasai oleh negara.
Selain itu, peran negara dalam perekonomian juga harus diperkuat. Hal itu untuk memastikan bahwa perekonomian berjalan sesuai rencana (terencana) dan hasilnya harus dinikmati sebesar-besarnya oleh massa rakyat. Selain itu, peran negara juga dimaksudkan untuk mencegah aksi spekulasi, penimbungan, sabotase, dan lain-lain.
Keempat, memberikan ruang kepada usaha swasta nasional, tetapi harus selaras dengan rencana pemerintah. Artinya, kehadiran swasta tidak boleh bertolak-belakang dengan cita-cita kemakmuran dan keadilan sosial. Untuk itu, kehadiran swasta hanya diperbolehkan di sektor non-strategis dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Kelima, melaksanakan perdagangan luar negeri yang bebas dan aktif. Perdagangan internasional haruslah dalam kerangka kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Bung Karno menekankan, ekspor Indonesia haruslah barang-barang jadi. Sedangkan impor hanya diberlakukan pada barang-barang yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri.
Zaman itu, modal asing tidak seluruhnya ditendang keluar. Beberapa dipertahankan asal tidak menggerus kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Di bidang migas, misalnya, masih ada “Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell).
Bung Karno kemudian memaksa ketiga perusahaan itu untuk melakukan negosiasi. Hasilnya: pembagian keuntungan 60:40 (60% untuk Indonesia dan 40% untuk kontraktor), perusahaan asing itu wajib menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah lima tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun, dan mewajibkan perusahaan asing untuk menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap.
Tak hanya itu, supaya kelak Indonesia bisa mengelola sendiri sumber daya alamnya, Bung Karno mengirimkan ribuan putra-putri Indonesia untuk belajar kemajuan teknik di luar negeri, khususnya Eropa Timur dan Uni Soviet. Harapannya, setelah mahasiswa itu tamat, mereka akan kembali ke tanah air dan membangun negeri.
Langganan:
Postingan (Atom)