Cari Disini

Selasa, 30 Juli 2013

5 Konsep Pembangunan Ekonomi Bung Karno !

Pada masa Bung Karno, ekonomi Indonesia cukup berdikari. Memasuki tahun 1960-an, hampir 80% aktivitas ekonomi sudah di tangan nasional. Banyak perusahaan asing, khususnya milik Belanda, diambilalih dan dijadikan perusahaan nasional.

Utang luar negeri juga terbilang kecil: 2,5 milyar USD. Sebanyak 1,6 milyar USD dipergunakan untuk memperkuat angkatan perang. Alhasil, angkatan perang Indonesia termasuk disegani di Asia. Lalu, sisanya dipakai membangun infrastruktur, seperti bendungan Jatiluhur, Krakatau Steel, pabrik pupuk (Sriwidjaya dan Petrokimia Gresik), dan lain-lain.

Memang, ekonomi jaman Bung Karno masih menyisakan masalah, seperti kemiskinan dan kenaikan harga sembako. Masalah saat itu sangat kompleks: ada sabotase ekonomi dari imperialis, ada kekacauan politik di sejumlah daerah, dan lain-lain.

Namun, banyak yang beranggapan, kalau saja proyek ekonomi berdikari Bung Karno tidak diinterupsi oleh Orde Baru, Indonesia sudah tampil sebagai kekuatan ekonomi besar saat ini. Setidaknya selevel dengan ekonomi China saat ini.

Di sini saya berusaha mengupas prinsip-prinsip pembangunan ekonomi era Bung Karno.

Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan mengurangi dominasi modal asing di Indonesia. Sejak jadi aktivis pergerakan di tahun 1930-an, Bung Karno sudah menyadari bahwa modal asing merupakan instrumen imperialisme. Kehadiran modal asing hanyalah untuk mengeruk kekayaan alam, menghisap tenaga kerja Indonesia, dan mengubah Indonesia sebagai pasarnya.

Bung Karno juga menyadari, selama modal asing masih bercokol, maka ekonomi nasional sulit berkembang. “Likuidasi ekonomi kolonial sebagai syarat mutlak untuk merintis jalan pembentukan ekonomi nasional,” ujar Bung Karno.

Kedua, percaya pada kekuatan sendiri (Self Help), khususnya pada kekuatan massa rakyat. Bung Karno meletakkan massyarakyat sebagai tulang-punggung pembangunan ekonomi. “Plan pembangunan kita harus merupakan plan massa,” kata Bung Karno.

Untuk itu, proyek pembangunan haruslah melibatkan partisipasi massa-rakyat. Tak hanya itu, pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan kemakmuran rakyat. Jika hal itu diabaikan, pembangunan belum tentu selaras dengan cita-cita kemakmuran rakyat.

Ketiga, memperkuat kedudukan ekonomi negara. Ini sejalan dengan prinsip pasal 33 UUD 1945. Sektor ekonomi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak—bersifat layanan publik/dasar—harus dikuasai oleh negara.

Selain itu, peran negara dalam perekonomian juga harus diperkuat. Hal itu untuk memastikan bahwa perekonomian berjalan sesuai rencana (terencana) dan hasilnya harus dinikmati sebesar-besarnya oleh massa rakyat. Selain itu, peran negara juga dimaksudkan untuk mencegah aksi spekulasi, penimbungan, sabotase, dan lain-lain.

Keempat, memberikan ruang kepada usaha swasta nasional, tetapi harus selaras dengan rencana pemerintah. Artinya, kehadiran swasta tidak boleh bertolak-belakang dengan cita-cita kemakmuran dan keadilan sosial. Untuk itu, kehadiran swasta hanya diperbolehkan di sektor non-strategis dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak.

Kelima, melaksanakan perdagangan luar negeri yang bebas dan aktif. Perdagangan internasional haruslah dalam kerangka kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Bung Karno menekankan, ekspor Indonesia haruslah barang-barang jadi. Sedangkan impor hanya diberlakukan pada barang-barang yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri.

Zaman itu, modal asing tidak seluruhnya ditendang keluar. Beberapa dipertahankan asal tidak menggerus kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Di bidang migas, misalnya, masih ada “Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell).

Bung Karno kemudian memaksa ketiga perusahaan itu untuk melakukan negosiasi. Hasilnya: pembagian keuntungan 60:40 (60% untuk Indonesia dan 40% untuk kontraktor), perusahaan asing itu wajib menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah lima tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun, dan mewajibkan perusahaan asing untuk menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap.

Tak hanya itu, supaya kelak Indonesia bisa mengelola sendiri sumber daya alamnya, Bung Karno mengirimkan ribuan putra-putri Indonesia untuk belajar kemajuan teknik di luar negeri, khususnya Eropa Timur dan Uni Soviet. Harapannya, setelah mahasiswa itu tamat, mereka akan kembali ke tanah air dan membangun negeri.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar