“Pahlawan atau
Penghianat” ?
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejarah merupakan salah satu cabang
ilmu pengetahuan, semua peristiwa-peristiwa masa lampau yang menjadi inti
cerita sejarah itu sungguh-sungguh terjadi dan dapat dibuktikan kebenarannya.
Peristiwa-peristiwa masa lampau menunjukkan proses perjuangan manusia untuk
mencapai perikehidupan kemanusiaan yang lebih sempurna dan sebagai ilmu yang
berusaha mewariskan pengetahuan tentang masa lalu suatu masyarakat tertentu.
Sugiono (2002:9) menjelaskan bahwa
sejarah memiliki arti tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, yang dialami
oleh manusia, disusun secara ilmiah meliputi urutan waktu, diberi tafsiran dan
analisa kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Sementara itu, Edward
Halett Carr dalam Poelinggomang (2004:20) Menampilkan pengertian sejarah yang
terpaut antara manusia dengan kekiniannya dan masa lampau dengan
pertanggungjawabannya. Ia menyatakan bahwa sejarah adalah suatu proses
perhubungan yang tidak henti-hentinya antara ahli sejarah dan bahan-bahannya,
suatu percakapan yang juga tidak putus-putusnya antara masa sekarang dengan
masa lampau. Dari pengertian-pengertian tersebut dapatlah dipahami bahwa
suatu peristiwa hArungslah ditempatkan, dianalisis dan ditafsirkan sesuai
dengan jamannya.
Arung Palakka sebagai salah satu
tokoh yang hidup pada abad ke-17 di Nusantara, merupakan tokoh yang
sampai saat ini menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Bagaimana tidak, sepak
terjangnya di masa lampau yang dimata sebahagian orang dianggap kontroversial.
Hal itu disebabkan karena ia bersahabat dengan Belanda dalam upaya membebaskan
kerajaan Bone dan Kerajaan Soppeng dari kekuasaan kerajaan Gowa.
Persahabatan Arung Palakka
dengan Belanda menyebabkan munculnya penafsiran terhadap dirinya sebagai
sosok “Penghianat”.
Terkait dengan masalah di atas, maka dalam makalah ini
akan diuraikan serangkaian peristiwa disekitar abad ke-17 dengan
menempatkan sosok Arung Palakka sebagai tokoh sentral, sekaligus mencoba
menghadirkan fakta-fakta peristiwa yang bisa memberikan gambaran dalam
menarik sebuah kesimpulan apakah Arung Palakka seorang “Pahlawan”
ataukah sebaliknya sebagai seorang “Penghianat”?.
EKSISTENSI ARUNG PALAKKA DALAM
PANGGUNG SEJARAH
Asal-Usul Arung Palakka
Arung
Palakka lahir pada tahun 1635 di desa Lamatta (Mario Riwawo, Soppeng). Ayahnya
bernama La Pottobune, Arung Tana Tengnga dan Datu Lompulle. Ibunya bernama We
Tenrisui, Datu Mario Riwawo (Abdurrazak Daeng Patunru, dalam A. Sultan Kasim:
2002:68). Berdasarkan
garis ibu Arung Palakka merupakan Pangerang Bone, ibunya We Tenrisui puteri Raja Bone XII, La Tenrirua Sultan Adam Matinroe
Ribantaeng. Hal tersebut menunjukkan kalu Arung Palakka juga berhak atas tahta
kerajaan Bone. Sebab Menurut
tradisi Kerajaan Bone bahwa yang berhak menjadi raja di Palakka, berhak pula
menjadi raja di Bone, namun tidak semua Raja Bone pernah menjadi raja di
Palakka.
Nama Arung
Palakka cukup banyak, sehingga bila dirangkaikan dalam satuan baris menjadi
panjang. Nama kecilnya La Tenritata Towappatunru, artinya tak dapat dibatasi
kemauannya dan orang yang menundukkan. Gelarnya sebagai Raja Palili di Soppeng
“Datu Mario Riwawo”, diberikan oleh ibunya. semasa dalam pengasingan di Gowa, nama panggilannya Daeng Serang.
Arung
Palakka artinya raja di Palakka. Latenritata dinobatkan oleh Hadat Tujuh Bone
menjadi raja di Palakka pada tahun 1660, seusai berkonsultasi dengan Jennang
Tobala untuk melakukan perlawanan terhadap Gowa. Nama julukannya yang terkenal
dikalangan masyarakat Bone ialah “ Malampee Gemmekna Petta Torisompae”, artinya
yang panjang rambutnya dan raja yang disembah. Nama Islamnya Sultan Saaduddin.
Nama anumertanya Matinroe ri Bontoala. Jadi nama lengkapnya “La tenritata
Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Arung Palakka Malampee Gemmekna
Petta Tori sompae Matinroe ri Bontoala”. (A. Sultan Kasim: 2002:69-70)
Ketika umurnya delapan tahun, Bone
diperangi Gowa dan berhasil ditaklukkan. Sejak berumur 11 tahun Arung Palakka
dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Gowa. Mereka beruntung karena
menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan
Gowa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangerang yang
mengesankan dalam olah otak maupun olahraga. Bahkan karena kelebihan yang
dimiliki dan kedekatannya dengan Karaeng KArungnrung sebagai Mangkubumi
Kerajaan Gowa (1654), Arung Palakka yang saat itu telah berusia 25 tahun sering
ditugaskan sebagai tentara pengawal Mangkubumi, dalam tugas ini banyak pula
bergaul dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. (La Side, 1968:80) .
Tugas Arung Palakka sebagai pengawal
mangkubumi Kerajaan Gowa, memungkinkannya mengetahui situasi dan kondisi
politik dan militer, serta mengidentifikasi sekutu-sekutu dan musuh-musuh Gowa.
Kelak dikemudian hari pengetahuan tersebut sangat berguna bagi Arung Palakka
dalam upayanya membebaskan Kerajaan Bone dan Kerajaan Soppeng dari cengkeraman
penjajahan Kerajaan Gowa.
Arung Palakka Membebaskan Kerajaan Bone dan Kerajaan
Soppeng dari Kerajaan Gowa.
Perlawanan rakyat atau
Kerajaan Bone terhadap Kerajaan Gowa secara umum dapat dibagi kedalam 2
(dua) babak atau periode, yaitu perlawanan tahun 1660 dan perlawanan yang
berlangsung tahun 1666. Peperangan antara dua kerajaan bersaudara yang
melibatkan tokoh Arung Palakka tersebut tercatat sebagai perang terbesar dalam
sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan abad ke-17.
Perlawanan Kerajaan Bone dan
sekutunya terhadap Kerajaan Gowa dan sekutunya tersebut bukanlah tanpa sebab.
Oleh A. Sultan Kasim (2002:73), dijelaskan bahwa:
“Sebab umum
perlawanan Bone dan Soppeng dibawah Arung Palakka, sebagai berikut:
1. Penaklukan Gowa atas Bone selam setengah abad lebih
(1611-1667)
2. Penderitaan Sosia-kulturalyang dialami rakyat Bone dan
Soppeng, yang mereka rasakan sebagai warga daerah takluk Gowa
3. Perlakuan sewenang-wenang dan penghinaan atas diri
tawanan perang Bone dan Soppeng oleh Mangkubumi Gowa, Karaeng KArungnrung dan
raja Gowa, sultan Hasanuddin
4. Pada saat itu muncul tokoh patriotik dan heroik, yang
mendapat dukungan dari rakyat Bone dan Soppeng, yakni Arung Palakka.
Sebab
khususnya ialah adanya pengerahan tenaga kerja paksa (rodi) rakyat Bone-Soppeng
dalam rangka perampungan pembangunan benteng-benteng pertahanan Gowa (1660)”.
Lebih jauh dijelaskan, bahwa sebab
khusus dari perlawanan ini antara lain penggunaan tenaga-tenaga rakayat Bone
dan daerah sekitarnya sebanyak 10.000 orang yang dipekerjakan untuk perampungan
pembuatan benteng-benteng dibawah tekanan kerja keras.
Tentang pengerahan tenaga kerja paksa rakyat
Bone-Soppeng ini, oleh Panitia Khusus Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan
Tenggara “Sejarah Bone” (1968: 127) dalam , diuraikan sebagai berikut:
“Tahun 1660.
Pada pertengahan tahun itu Jennang Tobala mendapat perintah dari
KArungnrung.....mengumpulkan 10.000 laki-laki untuk ke Gowa menggali parit dan
membangun kubu-kubu pertahanan di sepanjang pantai sekitar somba Opu......pada
akhir bulan juli tibalah Arungng Tanete dengan 10.000 orang Bone di
Gowa.....mereka membawa bekal, pacul dan linggis sendiri....
Datu Mario
dan tawanan perang Bone yang lain datang melihat orang senegerinya itu.....Datu
Mario sendiri sering mengawal Karaeng KArungnrung bila pergi memeriksa kemajuan
pekerjaan membangun parit dan kubu-kubu pertahanan tersebut.
Iba hati
pangerang ketika melihat penderitaan senegerinya. Mereka bekerja dari pagi
sampai petang, ..... celaka bagi yang dianggap malas mereka didera dengan
cambuk oleh mandur-mandur yang tak kenal perikemanusiaan. Yang dikhawatirkan
akan membangkan kakinya dipasung.... banyak pekerja yang melarikan diri.
Mangkubumi karaeng KArungnrung amat murka akan hal itu. Untuk menggantikan
pelarian yang tidak tertangkap kembali, diperintahkan supaya semua tawanan
perang yang ada di ibu kota ikut serta dalam pekerjaan itu”.
Sementara itu, dalam majalah
Bingkisan tahun I, no. 20 tahun 1968, dijelaskan:
“Pada suatu
hari di awal bulan september 1660 Datu Mario pulang dari pekerjaan menggali
parit. Didapatinya ayahnya telah tiada lagi, beliau telah dibunuh pada hari itu
dengan ngeri, karena ia mengamuk dihadapan Sri Sultan, disebabkan bermata
gelap, melihat beberapa orang Bone disiksa. Mereka itu adalah pelarian dari
tempat penggalian parit yang berhasil ditangkap kembali oleh orang Gowa”. (La
Side, 1968:84) .
Kedua peristiwa di atas telah
membakar jiwa dan semangat patriotik massa rakyat Bone dan Soppeng, baik
tawanan perang maupun pekerja paksa Bone-Soppeng di Somba Opu serta rakyat Bone
di daerah Bone di bawah Tobala.
Berdasarkan uraian dan kutipan-kutipan di atas,
maka dapatlah dimaklumi kalau pada akhirnya Arung Palakka dan para pengikutnya
kemudian melakukan perlawanan terhadap kerajaan Gowa, demi menegakkan harga
diri dan martabat rakyat dan bangsawan Bone-Soppeng yang telah dikoyak-koyak
oleh para panguasa di Kerajaan Gowa.
Setelah melalui perhitungan yang matang dan mendapatkan momen yang tepat, maka
kesempatan yang ditunggu untuk memulai perlawanan kembali terhadap kerajaan
Gowa akhirnya datang juga. Momentum yang dimaksudkan yaitu pada bulan september
1660 diadakan pestapora di Tallo, yang dihadiri oleh para pembesar kerajaan
Gowa, sehingga penjagaan terhadap para tawanan perang Bone-Soppeng tidak
diperhatikan lagi.
Momentum yang tepat itu dimamfaatkan sebaik-baiknya oleh Arung Palakka untuk
melanjutkan perjuangan merebut kemerdekaan Bone-Soppeng dari Gowa. Perlawanan
yang sudah direncanakan tersebut ditandai dengan pemukulan kentongan oleh Arung
Palakka, ketika para pembesar kerajaan Gowa telah lArungt dalam suatu pestapora
di Tallo pada pertengahan september 1660 tersebut. Sebagai mana dijelaskan:
“....Dalam
sekejap mata ramailah tong-tong bersahut-sahutan sepanjang beberapa kilo meter
di tepi pantai itu. Itulah tanda pemberontakan, perjuangan besar, pembebasan,
dan kemerdekaan telah dimulai. Para pekerja segera mengeroyok mandur-mandurnya,
memukul dengan linggis dan pikulan.” (La Side, 1968:84) .
Peristiwa tersebut menunjukkan
meletusnya kembali perlawanan Bone dan Soppeng terhadap Gowa. Dengan aba-aba
memukul kentongan, para tawan perang Bone-Soppeng dan para kekerja paksa
tersebut segera berkumpul di Bontoala (Kediaman Arung Palakka), dimana mereka
mendapat perintah untuk segera berangkat ke Bone dan empat hari kemudian mereka
hArungs ketemu kembali di Lamuru. Setelah empat hari sesuai dengan yang
direncanakan sebelumnya, maka mereka ketemu di Lamuru dan segera Arung Palakka
mengirim kurir kilat kepada Jennang Tobala dan Datu Soppeng untuk melaporkan
peristiwa besar itu dan mengajak untuk mengadakan pertemuan di Attapang dekat
Mampu, untuk membicarakan hal selanjutnya. (La Side, 1971:58)
Pada saat bertemu dengan Datu
Soppeng, La Tenribali untuk meminta doa restu dan bekal materil, yang rencanya
akan digunakan sebagai bekal dalam perjuangan selanjutnya menuju Batavia guna
mendapatkan bantuan dari VOC (Belanda). Maka pada tanggal 25 Desember 1660,
bersama dengan pengikut-pengikutnya Arung Palakka kemudian meninggalkan Bone
menyeberang ke Buton untuk menjalin persekutuan. (Patahuddin,2009:38)
Setelah tiga tahun berada di Buton
yaitu tahun 1663, Arung Palakka dan pengikut-pengikutnya yang setia menuju ke
Batavia guna menjalin persekutuan dengan VOC guna menyerang kerajaan Gowa.
Akhirnya setelah melalui proses yang panjang, maka pada bulan Desember
1666 Armada VOC berlayar meninggalkan Batavia untuk menyerang Gowa. Dalam
peperangan antara Gowa melawan VOC yang dibantu oleh Arung Palakka tahun 1667
itu menyebabkan kerajaan Gowa mengalami kekalahan, yang diakhiri dengan
penandatangan Perjanjian Bungaya 18 November 1667. (Patahuddin,2009:39)
Setelah kekalahan Gowa yang ditandai
dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya 18 November 1667, maka sejak saat
Bone melepaskan diri dari kekuasaan Gowa.
Pandangan Orang Bugis dan Orang
Makassar Terhadap Arung Palakka
Membahas ketokohan Arung Palakka
dalam sejarah, khususnya bagi orang Bugis dan Makassar merupakan suatu hal yang
menarik, karena tokoh ini selalu diperhadapkan dan dipertentangkan dengan tokoh
lain yaitu Sultan Hasanuddin yang justru telah diterima dan diakui sebagai
Pahlawan Nasional. Olehnya itu, sebelum penulis mencoba menarik sebuah
kesimpulan tentang dimana posisi Arung Palakka “Pahlawan atau Penghianat”
maka ada baiknya terlebih dahulu memperhatikanpandangan-pandangan umum tentang
Tokoh ini:
1. Pandangan
Orang Bugis Terhadap Arung Palakka
Dimata orang Bugis khususnya Bone
dan Soppeng, Arung Palakka merupakan sosok yang sangat dihargai dan
ditempatkan pada posisi yang sangat mulia, yaitu Pahlawan. Alasannya, sikap dan
tindakan Arung Palakka dalam memilih jalan kerjasama dengan Kompeni Belanda
(VOC), tidak lain adalah untuk membebaskan negeri leluhurnya, yaitu Bone dan
Soppeng dari cengkeraman penjajahan kerajaan Gowa.
Alasan di atas, sejalan dengan apa
yang diungkapkan oleh Taufik Abdullah (1990), bahwa pada waktu itu hanyalah
Kompeni Belanda satu-satunya yang dapat diharapkan oleh Arung Palakka untuk
segera mewujudkan cita-citanya, membebaskan kerajaan Bone dan Soppeng dari
penindasan kerajaan Gowa.
2. Pandangan
Orang Makassar Terhadap Arung Palakka
Berbeda dengan pandangan umum yang
ditemukan pada masyarakat Bugis. Dalam pandangan umum orang Makassar, Arung
Palakka sering ditemukan pendapat yang nadanya mencemooh bahwa Arung Palakka
tidak lain adalah seorang penghianat Bangsa Indonesia. Alasannya adalah Arung
Palakka telah menjalin hubungan kerjasama dengan Kompeni Belanda (VOC) dalam
menghancurkan perlawanan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa XVI) yang kemudian hari
diakui oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) sebagai Pahlawan Nasional dengan
Surat Keputusan Pemerintah RI tanggal 6 September 1973.(Sagimun, 1985).
Bertolak dari pandangan kedua kelompok etnis di atas, maka sangatlah sulit
menarik sebuah kesimpulan terutama di dalam menentukan posisi Arung Palakka
sebagai tokoh sentral dalam tulisan ini.
Untuk menempatkan Arung Palakka pada posisi yang tepat
sesuai dengan sepak terjangnya pada abad ke-17 itu, sangat dibutuhkan sikap
yang arif dan bijaksana dengan menempatkan peristiwa itu sesuai dengan
jamannya, yaitu:
1. Pada abad
ke-17 dimana tokoh Arung Palakka muncul dalam sejarah, peperangan yang terjadi
antara kerajaan Gowa melawan Bone dan Soppeng masing-masing merupakan kerajaan
yang berdaulat, merdeka, dan menjalankan politik pemerintahan sendiri sesuai
dengan konteks jamannya.
2. Pada abad
ke-17 dimana Arung Palakka hidup dalam menyejarah, nasionalisme Indonesia
seperti yang dihayati sekarang belum ada, nasionalisme Indonesia sendiri nanti
muncul pada abad ke-20 ketika Budi Utomo didirikan (1908), dimana rasa
nasionalisme mulai tampak dalam bentuk regional dan akhirnya dipertegas dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Terkait dengan uraian di atas, maka
tidaklah tepat jika ada pandangan yang mengatakan, bahwa Arung Palakka
merupakan seorang “Penghianat” bangsa Indonesia, karena yang dilakukan tidak
lain adalah untuk memerdekakan negeri/ kerajaannya dari penjajahan kerajaan
Gowa. Terlepas apakah ia menjalin kerjasama dengan Kompeni Belanda (VOC).
Walaupun demikian, tidaklah mudah
untuk menempatkan Arung Palakka sebagai seorang Pahlawan Nasional, karena
Sultan Hasanuddin sendiri (yang sering diperhadapkan dengan Arung Palakka)
sudah terlanjur ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional seperti yang telah
diuraikan sebelumnya. Namun Arung Palakka tetaplah “pahlawan” bagi rakyat
kerajaan Bone dan Soppeng, bahkan tidaklah berlebihan kalau dianggap sebagai
“pahlawan kemanusiaan” karena dalam usahanya memerdekakan kerajaan Bone dan
Soppeng juga membawa dampak pada kemerdekaan kerajaan-kerajaan lain yang pernah
berada dalam pengaruh kekuasaan kerajaan Gowa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar