Kata “mitos” pasti berada dalam pembendaharaan kita. Dalam percakapan
sehari-hari, kandungan makna dalam kata mitos acapkali diperdengarkan. Bukalah Kamus
Besar Bahasa Indonesia, maka kita akan temukan definisinya sebagai: “Cerita
suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran
tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut, mengandung arti
mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.” Setelah
membukan KBBI, tengoklah oleh kita percakapan-percakapan sehari-hari di
mana orang membentuk definisi mitos melalui mulut dan pengetahuan lisannya,
seperti: A: De, jangan duduk di depan pintu, nanti sulit jodoh. B: Ah,
mitos itu, Bu. A: Menentukan tanggal dan hari baik untuk menikah itu
penting. B: Yah, mitosnya sih begitu. A: Di sini ada mitos untuk tidak
berbicara sembarangan, bagi yang melanggar bakal ada akibatnya. B: Ok!
A: Indonesia adalah Atlantis, mitos bukan sih? B: Bisa saja, terus kenapa?
Terasa dalam percakapan-percakapan di atas
bagaimana kata mitos mengalami pemaknaan yang sedikit berbeda. Ia kadang
dipatuhi, kadang ditertawakan, acap diragukan, dan kadang diacuhkan. Sejauh ia
bisa dibuktikan melalui kajian ilmiah, orang akan berusaha percaya. Tapi,
ketika ia dibalutkan pada peristiwa yang “tak bisa diterima akal”, maka ia akan
diabaikan. Istilah mitos yang sekaranag
kita kenal diambil dari kata mite/myth yang berasal dari perbendahaan
Yunani Kuno: muthos, yang berarti “ucapan”. Muthos lebih
dimengerti sebagai cerita rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah
dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar-benar
terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Maka, dengan sendirinya kata
itu cocok diterapkan dalam cakupan pengertian kebudayaan Yunani dengan
kisah-kisah dewa-dewi yang bermukim di Olympus.
Dan kemudian kata itu hinggap di negera ini. Kita pun mengadopsinya untuk
mendefinisikan hal-hal yang “dianggap sama” dengan kebudayaan Yunani tersebut.
Tradisi keilmuan dan tradisi pendefinisian yang tertanam sejak zaman Belanda
membuat bangsa ini selalu mengekor siapa dan apa pun yang terimpor—busana,
makanan, hingga sejumput kata. Jadilah kita sebagai bangsa penjunjung tinggi pedagogi
serta metode berpikir “Barat”. Namun kenapa mitos selalu disandingkan dengan
bentuk-bentuk kearifan lokal dan tradisi masyarakat nusantara?. Sejauh tidak
memaksakan untuk selalu berpakaian dari “luar” dalam artian kita belum
menemukan pendefinisan yang tepat, hal itu mungkin masih bisa kita terima
bersama. Namun, bagaimana kalo kita sampai tidak mengenalinya lagi?
C.A. van Peursen dalam bukunya Strategie Van
De Cultuur menyinggung perihal mitos dalam ruang lingkup alam pikiran
mistis manusia sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu
kepada sekelompok orang. Cerita itu, menurutnya, dapat dituturkan, tetapi juga
dapat diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan dalam sebuah seni
pertunjukan lainnya. Inti-inti cerita itu berbicara mengenai
lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia: kebaikan dan
kejahatan, kehidupan-kematian, dosa dan penyucian, perkawinan-kesuburan, dan
kehidupan setelah mati. Bagi para peneliti dan
pemerhati kebudayaan, seperti juga Peursen, di mana mereka telah cukup lama
mengadakan riset di lapangan, hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga
pola-pola masyarakat yang diteliti sedemikian jauh sudah dipahami, pengertian
mitos ternyata mendapatkan makna beragam. Mitos, bagi para peneliti, bukan
hanya sebuah dongeng, ia merupakan rumah pengetahuan bermasyarakat yang di
dalamnya terdapat nilai(-nilai) kearifan. Sampai di sini pengertian mitos masih
berbicara dalam salah satu bagian dari kearifan lokal suatu masyarakat dengan
berbagai ekspresinya. Peradaban bergeser, maka
makna kata dari mitos pun terdegradasi. Definisinya jauh telah berubah dari apa
yang dulu coba disandingkan untuk membungkusnya. Ia tereduksi menjadi
pengertian yang maknanya sama dengan kata “bohong”, “khayalan”, “asbun”,
“bullshit”, dan kata-kata lain yang menghancurkan keingintahuan kita
untuk mendalaminya. Ia menutup bentuk-bentuk kearifan lokal dan tradisi
masyarakat Nusantara yang sarat akan nilai dan filosofi. Ia telah terjatuh
dalam sebuah himpunan: tak berguna! Timbul
pertanyaan: lalu apakah masih layak kata mitos membalut sebuah nilai
kepercayaan dan ekspresi-ekspresi tradisi yang muncul dari kearifan di
Nusantara? Mampukah kita menghilangkan definisi yang telah melekat pada kata
tersebut? Mengapa? kenapa kita tidak coba menghilangkan kata mitos untuk
menyebutkan hal-hal yang didefinisikannya sebagai satu bagian yang memang
berbeda? Sains sekarang memunyai tempat yang
paling tinggi sebagai pengganti pengetahuan. Semua hal diuji guna mendapatkan
kebenaran berdasarkan metode dan tatacara yang telah ditentukan secara ilmiah
atau keilmuan. Dan tentu saja, bagi sains “mitos” di Nusantara “tidak dapat
diuji” kebenarannya. Sains mengingkari nilai kepercayaan dan kearifan tradisi
yang sesungguhnya mempunyai tempatnya sendiri. Padahal, tak semua hal—apalagi
yang bersifat nonmaterial—bisa dipahami oleh sains. Sains tak mampu mengejar
nilai kearifan (sains belum dapat menguji kebenarannya).
Apa yang sekarang kita sebut sebagai “mitos” di
Nusantara, sejatinya memiliki fungsi sebagai bagian dari interaksi simbolik,
baik ketika berbicara mengenai sejarah, informasi penting, pengetahuan tentang
suatu hal, dan fungsi-fungsi lainnya. Kini, sejauh mana fungsi hal itu?
Semuanya tidak bisa dinilai memang, karena mereka, “mitos” itu sudah hilang.
Kini kita hanya mampu menerka-nerka saja fungsi, manfaat, dan kegunaannya. Mari
kita pahami nilai-nilai kehidupan dalam cerita “mitos” tidak sekadar bohong
atau bualan tidak masuk akal. Kembalilah kepada tataran di mana “mitos” yang
menghegemoni itu tak lain merupakan bagian dari eksistensi peradaban dan
kebudayaan masa lalu. Nilai kepercayaan,
kearifan, dan ekspresi-ekspresi tradisi nyatanya lahir dari latar belakang
budaya yang kuat. Ia menciptakan suatu bentuk interaksi, di mana antara satu
dengan lainnya berbicara dalam tataran simbolik, berbicara dalam kode-kode
alam, ketika—inilah yang hebat—manusia masih menempatkan alam dan bagiannya
(gunung, lautan, hewan, tetumbuhan) di atas eksistensi ke-manusia-annya,
ketika manusia belum menjadi penakluk bumi yang sangar lagi hingar-bingar.
Mampukah manusia kini menempatkan nilai
kepercayaan dan ekspresi-ekspresi tradisi yang muncul dari kearifannya sebagai
bagian kehidupannya? Bagi yang tidak mampu melakukannya, mereka menyebutnya
mitos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar