Artikel ini ditulis dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada seorang Menteri Negara. Saya tergerak menulis hal ini, setelah membaca berita tentang insiden yang menimpa Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo. Diberitakan, Roy Suryo lupa lirik saat menyanyikan lagu “Indonesia Raya” (Kompas, 28/8/2013).
Walaupun banyak orang sering lupa lirik lagu “Indonesia Raya”, namun karena Roy Suryo seorang menteri, tentu kesalahannya itu menimbulkan kehebohan. Semakin penting kedudukan seseorang di dalam masyarakat, maka masyarakat mengharapkan semakin sempurna pula sosok yang bersangkutan. Kekhilafan Roy Suryo memberi pelajaran. Yaitu bagaimana tidak remehnya gelombang yang ditimbulkan jika lagu kebangsaan tidak dihafalkan dengan baik (apalagi oleh seorang pejabat negara).
***
Insiden Roy Suryo itu, membuat saya teringat bagaimana teks lagu “Indonesia Raya” dan Soekarno sebagai simbol bangsa Indonesia, dihormati oleh Belanda, yang saya saksikan pamerannya, diselenggarakan oleh Verzetsmuseum (Museum Verzet) di Belanda.
Di Belanda, teks lagu “Indonesia Raya” yang dipamerkan itu terlihat tertulis di secarik kertas yang warnanya sudah tua, menguning dimakan usia. Namun teks lagu itu kelihatan terhormat, disimpan dengan aman di lemari kaca terkunci, dan diperlihatkan kepada publik di Museum Verzet di Amsterdam. Pameran ini diadakan untuk mengenang perjalanan Hindia Belanda hingga berdiri sebagai negara berdaulat, bernama Republik Indonesia.
Di pameran itu, teks lagu “Indonesia Raya” terpajang apik beralas kain kecoklatan, dengan dihiasi sekuntum kembang di samping teks itu.
Di samping teks lagu “Indonesia Raya”, juga ada deskripsi tentang pencipta lagu, kapan lagu diciptakan dan latar belakang diciptakannya lagu Indonesia Raya itu. Yang menarik, lirik lagu itu masih dalam versi asli, belum diutak-atik hingga menjadi versi yang kita kenal sekarang ini.
Kadang di jadwal tertentu, museum ini menyelenggarakan program khusus, misalnya pameran yang saya saksikan ini. Pameran tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia ini digelar di Belanda, April lalu.
Di kesempatan itu, Belanda memamerkan berbagai jejak historis antara lain jejak perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Yang menggetarkan perasaan adalah saat saya melihat senjata bambu runcing, di ujungnya tersimpul bendera merah putih. Ada juga poster dan foto para pejuang Indonesia, film dokumenter tentang perjuangan Indonesia, dan seterusnya.
Pada setiap foto, poster, dan benda lainnya, ada deskripsi tentang latar belakang kejadian historis yang dijelaskan lengkap. Misalnya foto pejuang, dijelaskan kejadiannya, tahun terjadinya peristiwa, latar belakangnya terjadinya, dan seterusnya. Sehingga wawasan pengunjung diperkaya dengan berbagai informasi itu.
Sistem audio visual di museum ini dimaksimalkan sedemikian rupa, sehingga pengunjung seakan memasuki suasana perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kadang-kadang terdengar sayup-sayup terdengar suara tembak-menembak ataupun suara mortir, juga suara rakyat yang panik di tengah peperangan. Sementara itu di sudut lain, ada film pendek yang memperlihatkan Soekarno dan Hatta.
Di bawah ini foto para pejuang Indonesia yang dipamerkan di Museum Verzet. Di sela-sela foto pejuang, melalui sound effect, kadang terdengar di segala sudut pekik “MERDEKA! MERDEKA! MERDEKA…!!!
Yang menarik, ada penjelasan bahwa kesengsaraan rakyat Indonesia akibat sistem kolonialisme, membuat bangkitnya kesadaran rakyat untuk menuntut kemerdekaan. Saya salut, karena penjelasan dideskripsikan secara “ilmiah”, dingin, berjarak, tak berusaha menutup-nutupi kesalahan Belanda. Padahal pameran ini diadakan oleh pihak Belanda, pihak yang pernah menjajah Indonesia.
Bahkan seakan sportif mengakui kesalahan mereka, Belanda dengan berbesar hati menampilkan plakat berisi ejekan orang Indonesia terhadap orang Belanda yang pernah ditempelkan di tembok-tembok di Indonesia saat zaman perjuangan. Isinya ditulis dalam bahasa Belanda, sebagai berikut: “Orang-orang Belanda tidak tahu malu. Ayo, pergi saja sana ke negeri kodok-mu!”
Yang menarik, di sudut lain tak henti-hentinya suara Soekarno yang sedang berpidato diperdengarkan. Terus terang, saya merasa merinding dan terharu saat mendengar Soekarno berpidato mengobarkan perjuangan rakyat, diperdengarkan di museum di Belanda ini. Suara Soekarno lantang bergema, berapi-api.
Juga terdengar jelas suara Soekarno pada saat membacakan naskah proklamasi. “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…… “ Sesudah pembacaan teks proklamasi itu, lalu diperdengarkan lagu “Indonesia Raya”.
Mungkin terdengar lebay, tapi mendengar suara Soekarno dan lagu Indonesia Raya, membuat mata saya berkaca-kaca. Buset! Saya yang jarang menangis, bahkan nonton film sedih pun tidak menangis, malah menjadi cengeng di antara foto pejuang yang gagah berbambu runcing!
Mungkin karena suasana ini terasa lain efeknya buat saya, dan begitu menyentuh perasaan, karena saya merasakannya pada saat berada jauh dari Tanah Air.
Cara Belanda mempresentasikan perjuangan kemerdekaan Indonesia di museum ini, membuat Indonesia terkesan jaya di negeri asing ini.
Soekarno adalah bapak bangsa, dan penghormatan kepada Sukarno bisa terasa di museum ini. Tampak naskah proklamasi tulisan tangan Soekarno juga dipamerkan di dalam lemari kaca tertutup. Juga terpajang foto klasik, yaitu moment saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan.
Mendengar suara Soekarno diperdengarkan berulang-ulang, dan pekik “merdeka” yang berulang-ulang di museum itu… menimbulkan rasa haru terhadap perjuangan para pejuang dan founding fathers negara Republik Indonesia.
***
Kembali ke isu aktual tentang kesalahan Roy Suryo saat menyanyikan Indonesia Raya, yang menuai kontroversi. Semoga hal ini tak perlu terulang, terutama tidak terjadi pada generasi selanjutnya.
Jangan sampai terjadi seperti yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun TV di Indonesia, di program yang dibawakan oleh presenter Vincent Rompies.
Di tayangan itu, Vincent bertanya kepada seorang pelajar SMA, “Siapa pencipta lagu “Indonesia Raya?”
Pelajar itu menjawab, “Soekarno!”. Vincent yang kesal dengan jawaban ini, lalu menanggapi, “Ooo, jadi Soekarno itu presiden juga, pencipta lagu juga… Terus Wage Rudolf Supratman itu ngapain?”
Pelajar itu menjawab enteng, “Bantu-bantu, Pak… kayaknya!